Omongan Luhut Gak Bisa Dipegang

Pada satu episode program wawancara bersaman Andy F Noya beberapa waktu lalu, Luhut Binsar Pandjaitan dengan mantap mengatakan bahwa dirinya tak ingin lagi memegang jabatan apa pun setelah 2024. Ia menyebut sudah cukup lelah, ingin menikmati waktu bersama keluarga, dan menyerahkan tongkat estafet kepada generasi muda. Ucapannya kala itu terdengar final — seolah menandai akhir perjalanan panjang seorang pejabat senior yang hampir tak pernah absen dari lingkar kekuasaan sejak era Jokowi.

Namun kenyataan berkata lain. Memasuki 2025, nama Luhut kembali muncul di daftar pejabat pemerintahan Prabowo Subianto. Tak hanya satu, melainkan tiga jabatan strategis sekaligus: Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Penasihat Khusus Presiden Bidang Investasi, dan Penasihat Bidang Digitalisasi Pemerintahan. Sebuah capaian yang bagi sebagian orang menunjukkan kepercayaan tinggi dari presiden, tapi bagi sebagian lain menimbulkan pertanyaan tentang makna kata “pensiun” yang dulu ia ucapkan.

Yang menarik, Luhut pernah pula menyebut “gila” orang yang menudingnya tak konsisten. Ironisnya, pernyataan itu kini seolah kembali menghantui dirinya sendiri. Publik tentu berhak menilai apakah perubahan sikap ini bentuk loyalitas terhadap negara atau sekadar ketidakmampuan melepaskan diri dari panggung kekuasaan.

Bagi tokoh sekaliber Luhut, setiap kata punya bobot politik. Ketika janji pensiun berubah menjadi daftar jabatan baru, publik berhak mempertanyakan sejauh mana konsistensi masih punya tempat di antara ambisi dan panggilan tugas.

Pada akhirnya, yang diuji bukan sekadar kapasitas Luhut sebagai pejabat senior, melainkan kejujuran seorang tokoh kepada ucapannya sendiri. Sebab di republik ini, kata-kata yang diucapkan di depan publik bukan hanya janji — tapi cermin dari integritas.

Mirip banget ya dengan orang yang pernah bilang “Setelah ini saya akan kembali ke solo, sebagai masyarakat biasa”, nyatanya sekarang sibuk berpolitik lagi.

Komentar