Apa yang Legal?
✍🏻Made Supriatma
Ketika ke Nabire beberapa waktu lalu, saya tidak mendapat kamar hotel. Ada romobongan dua menteri datang dari Jakarta memborong semua kamar hotel yang terbatas di kota yang baru saja naik status jadi ibukota provinsi ini.
Akhirnya saya dan seorang kawan terdampar ke sebuah rumah kos harian. Ia beroperasi seperti layaknya hotel karena bayar harian dan ada sarapan.
Sehari setelah kami masuk, saya mendengar bahasa yang tidak saya mengerti diucapkan disana. Walaupun tidak bisa berbahasa tersebut namun saya tahu itu bahasa apa (China -red). Ketika keluar sarapan, saya bertanya pada pelayan disana tentang orang-orang ini. Jawabnya, oh mereka para penambang emas. Mereka baru datang dari pedalaman Papua.
Dari pedalaman? Bukannya disana tidak aman dan sering terjadi kontak senjata? Orang-orang di kamar makan, yang rupanya pengunjung reguler “rumah kos” ini tertawa. “Disini semua sudah biasa, Pak!,” kata seorang dari mereka.
Lalu bagaimana soal keamanan? “Ah, apa guna dorang terjunkan pasukan banyak-banyak kesini,” begitu jawab sesorang non Papua dengan bahasa logat Papua.
Hampir setiap hari Presiden kita berteriak soal pencurian kekayaan alam kita. Kalau tidak dicuri, dia akan bilang kita ditipu. Namun Presiden kita tidak pernah menjelaskan siapa pencuri itu.
Orang-orang asing itu tidak mungkin datang dan bekerja di negeri ini tanpa ada yang mengundang, atau paling tidak melindunginya.
- Siapa pelindungnya?
- Ya, elemen-elemen legal (aparatur negara) yang secara pribadi mencari kekayaan secara illegal.
Bagi saya, tidak usah menyalahkan orang lain.
- Persoalannya ada pada kita sendiri: pada militer, polisi, jaksa, birokrasi dari pusat ke daerah.
- Mereka semua terlibat.
- Mereka semua saling lipat.
- Mereka semua berusaha mencuri.
- Orang asing itu memang salah.
- Tapi mereka bisa beroperasi karena aparat-aparat kita juga kan?
Seperti berita di Mandalika ini. Mandalika, Sodara-sodara! Tempat sirkuit motor yang dibikin oleh Jokowi. Bahkan di tempat seterang benderang itu pun ada penambangan ilegal.
Dan, kabarnya, orang-orang KPK yang menemukan itu heran karena para penambang itu tidak satu pun bisa berbahasa Indonesia.
Saya justru heran karena bapak-bapak penyidik KPK — yang sebagian besar berasal dari kepolisin ini heran.
Anda heran jugakah?
- Masalah kita paling besar bukanlah kekayaan alam kita dicuri oleh asing — tapi dicuri oleh para bangsat anak bangsa yang pemalas.
- Merekalah yang mensponsori atau memberi perlindungan para pencuri asing ini.
- Mereka pemalas karena dengan tidak bekerja apapun, tidak pakai otak pun, bisa kaya raya dan dengan kekayaan itu menjadi makin sakti untuk bisa berkuasa.
- Terlalu banyak orang seperti itu di negeri ini.
- Kuman-kuman yang membuat bangsa inilah yang menjadi bangunan utama dari kekuasaan negeri ini.
Jadi, jika ada politisi berteriak maling, percayalah bahwa ia sebenarnya adalah bagian dari permalingan itu.
(*)







Komentar