KETIKA “GUS” JADI GIMMICK

KETIKA “GUS” JADI GIMMICK

Oleh: Wilda Wahab

Berseliweran di TikTok sosok yang dipanggil “Gus…” Entah itu pengajian, majelis taklim, stand-up comedy, atau talk Show, saya sendiri bingung konsepnya apa. Yang jelas, model-model “Gus” seperti ini yang bikin banyak orang salah paham tentang dunia pesantren.

Saya baca kolom komentarnya:
“Kayak gini laku di Jawa.”
“Main raja-rajahan.”
“Isinya astagfirullah…”

Bahkan yang bukan santri pun tahu kalau itu salah.

Bagaimana tidak? Dia bersalaman dengan perempuan-perempuan muda, menggombali jamaah, memberi bunga, bercanda di depan penonton seperti sedang manggung bukan sedang mengaji. Bahkan dia melantunkan shalawat bareng biduan dengan pakaian yang membuka aurat. Dan setiap ada penanya perempuan, sikapnya dibuat-buat seolah terpana. Kadang malah minta jamaah cewe nyanyi. Ini pengajian, hiburan, atau apa sebenarnya?

Yang lebih miris, banyak yang membela dengan alasan: “Biar jamaah ngga bosan, kalau ngga lucu nanti sepi.” Loh, kalau memang niatnya ngaji, untuk apa harus lucu dulu baru datang?

Biarlah sepi, justru dari situ akan kelihatan siapa yang datang karena ilmu dan siapa yang datang karena hiburan.

Dan jangan salah, agama ini sudah mulia tanpa perlu dipoles dengan tawa. Lebih parah lagi ketika ia berkata: “Kasihan orang-orang, udah pusing urusan nafkah, masa datang ke pengajian masih harus dipusingin lagi?”

Kalimat yang terdengar empatik, tapi menyesatkan. Padahal Imam al-Ghazali dalam Ayyuhal Walad dawuh: Tujuan ceramah adalah membuat hati manusia gelisah karena akhirat, bukan tenang karena dunia. Bukan untuk membuat mereka tertawa, tapi tersadar.

Kita datang ke majelis bukan untuk dihibur,
tapi untuk menambah beban kesadaran
bahwa kita ini hamba yang banyak salah,
bahwa surga tak murah, dan neraka bukan dongeng.

Maka jangan heran jika minat masyarakat terhadap ilmu menurun, akhlak tak bertambah baik, ilmu tak bertambah dalam, karena yang mereka datangi bukan majelis ilmu, tapi panggung sandiwara.

Yang salah bukan cuma “Gus”-nya, tapi juga yang memberi panggung, yang memberi mikrofon, dan yang dengan sadar hadir demi tawa, bukan demi taqwa.

Jika tetangga sebelah saja dengan segala kekurangannya bisa membuat majelis yang khusyuk tanpa gimmick, masa kita yang mengaku Ahlussunnah wal Jamaah justru menjadikan pengajian sebagai komedi?

Sudah saatnya kita kembali menata arah.
Datang ke majelis bukan untuk tertawa,
tapi untuk tersadar.

(fb)

Komentar