Kecerdikan Politik Hamas
Oleh: Ahmed Al-Rashid
Henry Kissinger pernah bilang—politik itu seni kemungkinan, bukan mimpi-mimpi. Realisme itu jalan terpendek buat bertahan di arena kekuasaan.
Tapi Hamas nggak pakai realisme dingin ala Kissinger. Mereka pakai apa yang bisa kita sebut “realisme beriman”: campuran kuat antara keteguhan ideologis dan pragmatisme politik. Mereka paham bahwa berunding bukan tanda kelemahan, melainkan babak lain dari perjuangan—dengan alat berbeda yang tak kalah tegas dari senjata di medan perang.
Pernyataan terakhir Hamas soal usulan Presiden AS Donald Trump bukan sekadar sikap taktis. Itu adalah contoh kecerdasan politik yang komplet: pintar tapi tetap berprinsip, tegas pada dasar-dasar isu tapi fleksibel di medan perdebatan.

Sejak awal, jelas Hamas bicara seperti “negara yang melawan”, bukan sekadar kelompok yang terpojok. Pernyataannya ditulis dengan sangat terukur—bukan penolakan total yang bikin terisolasi, juga bukan penerimaan yang terlihat seperti mundur.
Mereka jaga keseimbangan tipis antara prinsip dan realitas—sebuah pelajaran langka di dunia Islam—yang dikuasai tokoh-tokoh seperti Khaled Mashal, Mousa Abu Marzouk, Ismail Haniyeh, dan Yahya Sinwar — orang-orang yang bisa gabungkan semangat lapangan dengan bahasa diplomasi.
Di pernyataan ini Hamas menjalankan apa yang bisa disebut “manuver strategis dengan tetap pegang prinsip”.
- Mereka bilang ke Amerika dan perantara: kami bukan pengecam perang, tapi kami juga tak akan terjebak pada perdamaian yang mengkhianati darah para syuhada.
- Mereka menghargai upaya perundingan, tapi tak tunduk; membuka pintu negosiasi sambil tetap meletakkan tangan di pelatuk.
- Mereka bicara soal “badan teknokrat” namun mengikatnya pada konsensus nasional dan dukungan Arab–Islam—cara bahasa yang cerdik menolak campur tangan asing sambil membuat pihak lain merasa didengar, padahal sebenarnya Hamas sedang menata ulang syarat permainan.
Yang baca pernyataan itu akan tahu: Hamas bukan lagi sekadar “kelompok bersenjata” yang ingin dibuat tetap di sudut. Mereka sekarang bicara seperti aktor politik yang solid, mampu ubah tekanan jadi peluang, dan setiap inisiatif jadi panggung untuk menegakkan narasinya. Ini inti politik sebagaimana difahami pemikir besar: Antonio Gramsci bilang politik itu perang posisi—dan Hamas sedang memenangkan posisi itu lewat tiap baris pernyataan.

Khaled Mashal, dengan pengalaman panjangnya, memberi contoh unik buat kaum Islamis: sosok pejuang yang juga punya wajah diplomatik—tak perlu berteriak di mikrofon, tapi bisa berunding di lorong-lorong pengambilan keputusan dan mengubah keseimbangan dengan senyum penuh percaya diri.
Di sampingnya ada para pemimpin yang paham bahwa politik bukan mengorbankan prinsip, tapi seni menyusun posisi demi tujuan lebih tinggi.
Hamas melakukan ini: menegaskan garis merah dengan percaya diri, namun memberi ruang gerak bagi langkah-langkah cerdas, sehingga di mata internasional tampak realistis, sementara di mata rakyat tampak teguh.
Ini pelajaran penting bagi kaum Islamis di masa kebingungan: jangan jadikan politik musuh agama, dan jangan biarkan prinsip jadi penjara bagi akal. Pahamilah bahwa perjuangan bukan sekadar emosi—melainkan perhitungan yang menggabungkan pragmatisme yang beriman dengan visi misi yang jelas.
Pernyataan ini bukan hanya kertas posisi; ia hidup sebagai perwujudan sekolah Khaled Mashal dan kawan-kawan: sekolah yang memadukan jiwa perlawanan dengan kecerdasan politik. Sekolah yang berkata pada pemerintahan dan dunia: kami tak lari dari meja perundingan, tapi kami juga tak akan “jual” prinsip di meja itu.
Setiap kali Hamas buat pernyataan seperti ini, ia bukan sekadar menanggapi Trump—mereka juga mengajarkan generasi Islamis suatu pelajaran baru tentang bagaimana politik bisa menjadi salah satu seni jihad. (*)







Komentar