Audit Kereta Cepat: Korupsi, Mark-up, dan Utang Tanggungjawab Jokowi, Luhut dan Geng Solo

Audit Kereta Cepat: Korupsi, Mark-up, dan Utang Tanggungjawab Jokowi, Luhut dan Geng Solo

Oleh Faisal Lohy (Pemerhati Kebijakan Publik)

PROYEK ambisius kereta cepat Jakarta-Bandung yang digagas Jokowi dan Luhut Binsar Panjaitan and “The Geng” memunculkan masalah baru.

PT KAI sebagai pemimpin operasional PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), angkat “bendera putih”. Tidak mampu melunasi cicilan bunga utang tahunan kereta cepat ke China Development Bank.

PT. KAI dan PT PSBI mengadu ke Superholding mereka, Danantara. Kemudian dibuat usulan ke Kementerian Keuangan agar cicilan bunga utang dialihkan untuk dibayar menggunakan APBN.

Enak banget ya. Tidak segampang itu FERGUSO…

Mana ada rakyat Indonesia yang rela APBN 2026 yang 84 persen berasal dari pajak mereka digunakan untuk bayar bunga utang kereta cepat yang merugi lantaran bobroknya praktik korupsi, mark up dan berorientasi pada kepentingan bisnis Jokowi, Luhut dan kolega oligarki China.

Sejak awal proyek ini dirancang, memang sudah tidak masuk akal. Tidak didasarkan pada pertimbangan kebutuhan transportasi publik dan kelayakan nilai ekonomis. Proyek ini semata-mata digagas berdasarkan kepentingan pribadi Jokowi dan Luhut.

Awalnya proyek ini digagas oleh pemerintah Indonesia dan Jepang yang menawarkan investasi US$ 6,5 miliar, masa pinjaman 40 tahun dan bunga pinjaman hanya 0.1 persen.

Namun tiba-tiba Jokowi dan Luhut gagalkan proposal penawaran Jepang dan menerima Proposal China dengan bunga pinjaman sangat tinggi 2 persen, nilai investasi US$ 5,5 miliar dan masa konsesi 50 tahun.

Masalahnya, di tengah jalan, terjadi perilaku bobrok, mark up dan korupsi yang mengakibatkan biaya pengerjaan proyek meningkat (cost over run) dari US$ 5,5 miliar jadi US$ 7,27 miliar.

Otomatis biaya pinjaman proyek ke Bank of China meningkat US$ 1,77 miliar. Mirisnya, pinjaman tambahan itu diikuti dengan peningkatan bunga pinjaman 3,4 persen.

Artinya, ada dua jenis bunga pinjaman yang harus dilunasi PT KAI lewat PT PSBI. Pertama bunga 2 persen per tahun untuk pinjaman awal US$ 5,5 miliar dan bunga cost over run 3,4 persen untuk tambahan pinjaman US$ 1,77 miliar.

Secara keseluruhan, biaya pembangunan yang membengkak hingga US$ 7,27 miliar ini, jauh lebih mahal dibanding pembangunan kereta cepat di Cina. Perbandingannya, di Indonesia, biaya pengerjaan proyek US$ 520 juta/KM. Sementara di Cina hanya US$ 17-30 juta/KM. Potensi mark up sangat tinggi.

Kedua, untuk peningkatan biaya tambahan proyek atau cost over run US$ 1,27 miliar, tercatat mencapai 20% dari total nilai proyek awal. Murk up luas biasa.

Potensi korupsi dan mark up ini, sampai sekarang belum diaudit oleh pemerintah. Siapa para pihak yang terlibat di dalamnya, Jokowi sebagai presiden, Luhut sebagai pemimpin delegasi untuk diplomasi ke China dan Menteri BUMN bakal itu Budi Karya. Inilah para pihak yang harus bertanggung jawab secara hukum.

Persoalan mark up dan besarnya beban bunga utang, pelan-pelan membangkrutkan BUMN yang terlibat proyek. Terutama PT KAI selaku pemimpin PT. PSBI karena memiliki 58,35%.

Pendapatan operasional kereta cepat, jauh lebih kecil dibanding beban pembayaran cicilan bunga utang totalnya Rp 3 triliun per tahun. Menghadapi besarnya beban cicilan bunga utang, mengakibatkan PT. PSBI mencatat kerugian sepanjang 2024 sebesar Rp 4,195 triliun dan 6 bulan pertama 2025 capai Rp 1,652 triliun.

Sementara PT. KAI tercatat ikut menanggung rugi sepanjang 2024 Rp 2,24 triliun dan 6 bulan pertama 2025 Rp 981,48 miliar.

Dengan kerugian ini, Danantara mengusulkan pengalihan bunga utang untuk dibayar gunakan APBN. Enak saja ….!!!

Proyek ini, B to B tidak ada kaitan dengan APBN. Masalah proyek rugi dan membangkrutkan BUMN ini sejak awal bobrok, potensial korup dan mark up. Langkah awal yg harus dilakukan pemerintah adalah lakukan audit investigasi. Panggil dan periksa Jokowi, Luhut dan Budi Karya Sumadi selaku menteri BUMn kala itu.

Mereka yang merancang proyek tidak berdasarkan pertimbangan transportasi & nilai ekonomis. Mereka yang menggusur Jepang dan menggantikan dengan China. Lalu memaksakan pembiayaan proyek dengan bunga mahal 2%. Mereka yang mengakibatkan terjadinya cost over run 20% dari nilai proyek dengan bunga 3,4%. Inilah yang mengakibatkan BUMN terbebani dan merugi.

Jokowi, Luhut dan Budi Karya Sumadi harus bertanggung jawab !!

Berikutnya soal pelunasan utang, pemerintah Indonesia harus kembali melakukan negosiasi dengan China untuk peroleh keringanan. Ada yang sarankan pemerintah ajukan perpanjangan waktu pelunasan.

Saat ini 80 tahun. Mau ditambah jadi berapa lama lagi? 100 tahun?

Apakah waktu 80 tahun tidak cukup lama bagi kita untuk dijajah China lewat pembayaran bunga utang untuk bisa memiliki sepenuhnya infrastruktur kereta cepat itu ? Mau tambah lagi jadi masa penjajahannya hingga 100 tahun?

Kedua negosiasi penurunan bunga utang. Memangnya China mau terima tanpa ada kompensasi dan substitusi?

Inilah momen yang ditunggu China. Melumpuhkan kemampuan melunasi utang lalu negosiasi keringanan bunga utang. Dijadikan alat politik China untuk mendikte Indonesia.

Bagaimana, kalau China ngotot kuasai salah satu pelabuhan strategis di perbatasan Indonesia untuk dijadikan pangkalan militer, seperti kasus Sri Lanka, Zibouti dan Zambia sebagai ganti rugi pembayaran utang?

Pemerintah Indonesia punya kuasa untuk menolak karena proyek kereta cepat gunakan skema B to B. Tapi penolakan berarti tidak ada keringanan pembayaran utang. BUMN Indonesia silahkan bayar dengan bunga tinggi hingga 80 tahun ke depan.

Maka tepat kata Purbaya, Jika PT.KAI dan PT. PSBI tidak sanggup, Danantara sebagai superholding harus ambil alih lewat dana dividen seluruh BUMN yang ditarget Rp 80 triliun per tahun.

Setoran dividen BUMN sudah tidak masuk lagi ke APBN. Melainkan ke kas Danantara. Silahkan Danantara kelola risiko gagal bayar utang BUMN gunakan setoran dividen yang diterima.

Inilah masalah berat yang digagas, dirancang oleh Jokowi, Luhut & dilaksanakan oleh Budi Karya Sumadi selaku menteri BUMN kala itu.

Jokowi memang selalu bikin gaduh, menyusahkan, menyengsarakan rakyat. Bahkan sampai setelah menjabat, masih saja meninggalkan beban warisan yang menyulitkan negara.(*)

Komentar