Umrah Mandiri Legal, Bisa Berangkat Tanpa Agen

Masyarakat kini dapat melaksanakan ibadah umrah tanpa harus melalui biro perjalanan resmi. Pemerintah bersama DPR RI telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU).
Aturan baru ini secara resmi melegalkan pelaksanaan umrah secara mandiri.

Bunyi Pasal 86 ayat (1) UU 14 Tahun 2025 menegaskan:

“Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan:
a. melalui Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU);
b. secara mandiri; atau
c. melalui Menteri.”

Dengan perubahan ini, pemerintah membuka peluang baru bagi umat Islam yang ingin beribadah umrah tanpa perantara biro perjalanan, berbeda dengan ketentuan lama dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 yang mewajibkan seluruh jemaah berangkat melalui PPIU atau pemerintah.

Perbandingan Aturan Lama dan Baru

UU Nomor 8 Tahun 2019 (Lama)UU Nomor 14 Tahun 2025 (Baru)Inti Perubahan
Pasal 86 Ayat (1-2): Perjalanan Umrah hanya dapat dilakukan melalui PPIU.Pasal 86 Ayat (1): Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan melalui PPIU, secara mandiri, atau melalui Menteri.Menambahkan jalur baru: Umrah Mandiri.
Pasal 86 Ayat (3-5): Pemerintah dapat menyelenggarakan umrah hanya pada kondisi luar biasa yang ditetapkan Presiden.Pasal 86 Ayat (2-3): Penyelenggaraan oleh Menteri tetap hanya pada kondisi darurat.Penyederhanaan redaksi tanpa mengubah prinsip darurat.

Syarat Umrah Mandiri

Meski kini dibuka untuk umum, pelaksanaan umrah mandiri tetap memiliki sejumlah persyaratan yang diatur dalam Pasal 87A UU PIHU. Jemaah yang ingin berangkat secara mandiri wajib memenuhi ketentuan berikut:

  1. Beragama Islam.
  2. Memiliki paspor yang berlaku minimal enam bulan sejak tanggal keberangkatan.
  3. Memiliki tiket pesawat tujuan Arab Saudi dengan jadwal keberangkatan dan kepulangan yang jelas.
  4. Memiliki surat keterangan sehat dari dokter.
  5. Memiliki visa dan bukti pembelian paket layanan dari penyedia resmi melalui Sistem Informasi Kementerian Agama.

Selain itu, Pasal 88A mengatur hak jemaah umrah mandiri, antara lain:

  • Berhak atas layanan sesuai perjanjian tertulis dengan penyedia layanan.
  • Berhak melaporkan kekurangan pelayanan kepada Menteri Agama.

Langkah Besar, Tapi Perlu Pengawasan

Legalisasi umrah mandiri dinilai sebagai langkah progresif untuk memberikan keleluasaan bagi masyarakat yang ingin beribadah tanpa ketergantungan pada biro. Namun, di sisi lain, perubahan ini juga berpotensi menimbulkan tantangan baru, seperti meningkatnya risiko penipuan, minimnya perlindungan hukum bagi jemaah, serta potensi hilangnya pengawasan terhadap kualitas layanan.

Nasib Ribuan Pekerja Biro Haji dan Umrah

Di balik kabar gembira bagi calon jemaah ini, muncul pertanyaan besar: bagaimana nasib ribuan pekerja yang selama ini menggantungkan hidup dari bisnis haji dan umrah?

Dari staf administrasi, tour leader, hingga pemandu ibadah yang telah bertahun-tahun bekerja di bawah biro perjalanan — mereka kini menghadapi ketidakpastian. Jika tren umrah mandiri meningkat, banyak perusahaan travel berpotensi kehilangan pelanggan, yang berarti berkurangnya pendapatan dan potensi PHK besar-besaran.

Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya memberi kemudahan bagi jemaah, tetapi juga melindungi ekosistem tenaga kerja yang selama ini menopang industri perjalanan ibadah. Tanpa kebijakan transisi dan pelatihan ulang bagi para pekerja, legalisasi umrah mandiri bisa menjadi pisau bermata dua: membuka kebebasan baru bagi sebagian, namun menutup mata pencaharian bagi banyak orang lainnya.

Komentar