Hutang Budi, Bikin KPK Melempem Soal MarkUp Woosh

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai kehilangan keberanian dalam mengusut dugaan korupsi proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto, yang menilai lemahnya sikap lembaga antirasuah itu tak lepas dari faktor politik di balik pemilihan pimpinannya.

Menurut Hari, KPK tampak enggan menindaklanjuti laporan masyarakat terkait dugaan penyimpangan dalam proyek transportasi prestisius tersebut. Ia menilai ada hubungan psikologis antara pimpinan KPK dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap berpengaruh terhadap keberanian lembaga tersebut.

“KPK tidak punya keberanian untuk mengusut karena Ketua KPK saat ini diangkat oleh Jokowi,” ujar Hari kepada RMOL, Minggu (26/10/2025).

Hari menambahkan, kondisi tersebut menimbulkan persepsi publik bahwa Ketua KPK Setyo Budiyanto dan jajarannya memiliki utang budi politik kepada presiden yang memilih mereka. Akibatnya, KPK dianggap mencari berbagai alasan untuk tidak memproses kasus dugaan korupsi proyek Whoosh.

“Berbagai alasan dibuat untuk menunda atau menghindari penyelidikan kasus ini,” tegas Hari.

Proyek Whoosh sendiri tercatat menelan investasi fantastis, mencapai 7,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp116,54 triliun (kurs Rp16.186 per dolar AS). Angka tersebut jauh lebih besar dari proposal awal yang diajukan China, yaitu 6,07 miliar dolar AS atau sekitar Rp86,67 triliun (kurs Rp14.280 per dolar AS).

Dari total biaya tersebut, sekitar 75 persen dibiayai oleh China Development Bank (CDB), sementara sisanya berasal dari modal para pemegang saham, termasuk PT Kereta Api Indonesia (KAI), Wijaya Karya, PTPN I, dan Jasa Marga.

Perbedaan besar antara nilai awal dan realisasi proyek ini sebelumnya telah memunculkan berbagai dugaan markup dan penyimpangan keuangan, yang hingga kini belum mendapatkan kejelasan dari pihak berwenang.

Sejumlah pengamat juga menilai, KPK seharusnya tidak ragu menelusuri dugaan penyimpangan tersebut, termasuk kemungkinan keterlibatan pejabat tinggi pemerintahan dan tokoh politik yang terlibat dalam proses tender maupun restrukturisasi utang proyek Whoosh.

Kasus ini kembali menjadi sorotan publik setelah Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, mengungkapkan bahwa ia telah menyerahkan sejumlah data dugaan korupsi Whoosh ke KPK. Namun, lembaga antirasuah itu dan Mahfud justru saling melempar tanggung jawab terkait tindak lanjut laporan tersebut.

Dengan meningkatnya tekanan publik, banyak pihak kini mendesak agar KPK menunjukkan independensinya dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik dalam menegakkan hukum.

“Kalau KPK terus diam, publik akan menilai lembaga ini bukan lagi penjaga keadilan, tapi alat kekuasaan,” tutup Hari Purwanto.

Komentar