Audit Membongkar Proyek Busuk WHOOSH

✍🏻Agustinus Edy Kristianto

Saya menangkap kesan bahwa tim negosiator dari Danantara yang dikirim ke Tiongkok untuk merestrukturisasi utang Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh!) digambarkan bak pahlawan yang akan melakukan misi mulia. Padahal, kita tahu kegiatan mereka paling “sebatas” negosiasi bunga, tenor, dan denominasi utang.

Mengutip Kontan (20/10/2025), penyelesaian utang Whoosh! yang mencapai Rp81,3 triliun ternyata masuk daftar investasi prioritas Danantara.

Lembaga yang diposisikan sebagai “kekuatan masa depan Nusantara” itu pada akhirnya cuma menjadi kendaraan pembayaran tunggakan utang keberlanjutan. (warisan Jokowi)

Padahal, inti masalahnya adalah proyek itu busuk — meminjam istilah Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan.

Indonesia terjebak utang Bank Tiongkok dan merugikan keuangan BUMN, terutama PT KAI (Persero) sebagai pemimpin konsorsium (pemilik 58,53% saham) PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), yang merupakan pemegang 60% saham Whoosh!.

Tentu tak ada salahnya melakukan negosiasi restrukturisasi, tetapi tak perlu dipuji berlebihan. Yang justru penting malah terlewat: menelisik sebusuk apa proyek ini.

  • Apakah Presiden terdahulu (Jokowi) yang ngotot mendorong proyek ini yang busuk?
  • Apakah kontraktornya yang busuk?
  • Atau politisi yang minta jatah yang busuk?

Saya mendorong dilakukan audit investigatif atas proyek ini oleh lembaga pemeriksa keuangan negara (BPK), yang kemudian dilanjutkan dengan penyelidikan dan penyidikan dugaan korupsi oleh aparat penegak hukum. KPK — yang selama ini berkoar-koar di media bahwa mereka proaktif mencari data dan informasi — sebaiknya membuktikan ucapannya itu.

Sekaranglah saat yang paling tepat untuk membongkar kebusukan. Menundanya berarti menambah parah kerugian negara. Tak perlu berpolemik mengenai siapa yang harus melapor; keburu para pelakunya kabur dan jejak korupsinya menguap!

Laporan Keuangan KAI 2024 (audited) menunjukkan nilai investasi KAI di Whoosh! makin tergerus kerugian. Bagian rugi bersih KAI dari Whoosh! pada tahun 2024 mencapai Rp2,24 triliun, yang didominasi beban bunga utang proyek awal sebesar US$4,55 miliar.

Bolehlah soal utang proyek awal itu kita “kesampingkan”, karena ketika itu mekanismenya masih business to business (B2B) alias tidak dijamin APBN, sehingga unsur kerugian negaranya masih samar-samar.

Namun potensi pidana korupsi yang lebih jelas terlihat ketika terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar (sekitar Rp19,8 triliun). Klaim atau tagihan cost overrun itu berasal dari kontraktor Whoosh! yaitu HSRCC (High Speed Railway Contractor Consortium), yang terdiri dari pihak Tiongkok (70%) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) (30%).

Pembengkakan biaya inilah yang memaksa KAI menarik utang baru dari China Development Bank (CDB) senilai Rp5,87 triliun (terdiri dari US$325,62 juta dan RMB217,08 juta). Utang baru berdenominasi asing dengan bunga 3,3% dan 3,2% ini celakanya menggunakan jaminan APBN, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang diteken Presiden Joko Widodo. Teknis penjaminan oleh pemerintah dilakukan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII).

Fakta terburuknya, penggunaan dana utang baru itu lebih banyak untuk menambal kerugian akuntansi daripada menambah aset.

Dengan demikian, gugurlah klaim pejabat yang mengatakan Whoosh! tidak menggunakan dana APBN, dan muncul alasan kuat agar KPK segera menyelidiki dan menyidik kasus ini demi menyelamatkan potensi kerugian negara.

Kepergian Danantara ke Tiongkok untuk negosiasi utang bakal sia-sia selama hulu masalahnya tidak dibereskan:

  • Dugaan tagihan fiktif dari kontraktor
  • Mark-up harga barang dan jasa
  • Pemberian suap atau kickback,
  • serta praktik korupsi dalam berbagai bentuknya.

Audit keuangan dan penyelidikan hukum harus mendahului negosiasi — atau setidak-tidaknya dilakukan secara paralel. Jangan sampai negosiasi dilakukan justru untuk melegalkan biaya yang muncul dari pelaksanaan proyek yang korup.

Salam,
AEK

Komentar