Satu tahun sudah Natalius Pigai duduk di kursi Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto. Jabatan strategis itu seharusnya menjadi momentum pembuktian — bahwa aktivis keras dari Papua ini bisa membawa napas baru dalam penegakan HAM di Indonesia. Namun setelah 12 bulan berlalu, publik justru melihat kinerja yang redup, nyaris tak berdenyut.
Retorika Tinggi, Aksi Tipis
Pigai datang dengan retorika besar. Ia menyebut program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai bentuk pemenuhan HAM, menekankan bahwa hak asasi tak hanya soal kebebasan sipil, tapi juga kesejahteraan rakyat. Namun di lapangan, tak ada gebrakan berarti dari Kementerian HAM yang bisa dirasakan publik.
Rencana ambisius seperti pembentukan atase HAM di luar negeri dan kampung rekonsiliasi di dua ribu titik hanya terdengar di podium, tanpa peta jalan jelas. Padahal, situasi HAM di tanah air sedang kritis: konflik agraria terus meningkat, kekerasan aparat terhadap demonstran berulang, dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu masih jalan di tempat.
Kritik dari Parlemen Hingga Aktivis
Bukan hanya masyarakat sipil, bahkan DPR mulai gerah.
Siti Aisyah dari Fraksi PDIP terang-terangan menyebut,
“Setelah seratus hari bekerja, kami tak lihat apa yang sebenarnya dilakukan Menteri HAM.”
Nada senada datang dari Mafirion (Fraksi PKB) yang menilai Pigai kehilangan daya juang seperti saat masih di Komnas HAM. Bahkan, lembaga riset ekonomi CELIOS memberi rapor merah pada Pigai dalam penilaian 100 hari kerja kabinet, menjadikannya salah satu menteri dengan skor terendah.
Kritik juga datang dari tanah kelahirannya sendiri — Papua.
Aktivis HAM Yan Christian Warinussy mengingatkan bahwa Pigai harus peka terhadap penderitaan rakyat Papua yang terus menjadi korban pelanggaran HAM. Pendeta Benny Giay bahkan lebih keras:
“Saya tidak terlalu optimistis. Kondisi Papua sudah habis-habisan baru seorang asli Papua diangkat jadi Menteri HAM.”
Artinya, ekspektasi yang begitu besar dari masyarakat Papua justru berubah menjadi kekecewaan.
Hilang di Tengah Krisis HAM
Dalam satu tahun terakhir, berbagai konflik sosial—dari Rempang, Cidahu, hingga perkebunan sawit di Kalimantan—tak pernah mendapat perhatian serius dari KemenHAM. Publik lebih sering mendengar Pigai berbicara soal gizi anak ketimbang pelanggaran hak warga negara.
Ketika mahasiswa Papua berdemonstrasi menuntut perhatian atas pelanggaran HAM di Intan Jaya, Pigai hanya menjawab agar laporan disampaikan ke Komnas HAM. Jawaban prosedural itu mungkin benar secara administratif, tapi terasa hampa bagi rakyat yang menanti kehadiran moral seorang menteri yang dulu dikenal lantang membela kaum lemah.
Simbol Tanpa Substansi
Pengangkatan Natalius Pigai sebagai Menteri HAM awalnya dipandang sebagai langkah simbolis untuk memperkuat representasi Papua dalam kabinet. Namun setahun berjalan, simbol itu tak berkembang menjadi substansi.
Pigai seperti kehilangan roh aktivisme yang dulu membuatnya disegani. Kini ia tampak lebih nyaman bersembunyi di balik meja birokrasi. Dalam politik praktis, simbol tanpa kinerja hanya menjadi beban. Dan beban seperti itu cepat atau lambat akan menuntut konsekuensi politik: reshuffle.
Saatnya Presiden Bertindak
Presiden Prabowo Subianto dikenal pragmatis dan menuntut hasil nyata. Jika ukuran kinerja adalah dampak terhadap rakyat, maka Pigai gagal memenuhinya.
Tak ada kebijakan besar, tak ada penyelesaian kasus, dan tak ada langkah konkret yang menegaskan keberpihakannya pada korban pelanggaran HAM.
Satu tahun sudah cukup menjadi masa uji.
Natalius Pigai mungkin datang dengan idealisme, tapi kinerjanya tak meninggalkan jejak. Maka tak berlebihan bila publik mulai bertanya:
“Apakah Menteri HAM ini benar-benar bekerja, atau sekadar hadir di rapat kabinet?”
Karena pada akhirnya, jabatan publik bukan tempat untuk nostalgia aktivisme. Ini soal tanggung jawab, hasil, dan keberanian. Dan sejauh ini, Natalius Pigai belum menunjukkan satupun dari tiga hal itu.
Natalius Pigai layak direshuffle — karena kinerja tanpa arah adalah bentuk baru dari pelanggaran terhadap harapan rakyat.







Komentar