Budi Arie Tinggalkan Jokowi, Cari Sandaran Baru Yang Lebih Pasti

Oleh: Erizal

Baru kemarin Budi Arie Setiadi bersama pengurus Projo menyambangi kediaman Jokowi di Solo, apa mungkin Budi Arie dan Projo meninggalkan Jokowi, bersimpang jalan, pecah kongsi, atau selamatkan diri masing-masing?

Keluar dari kediaman Jokowi, Projo masih membela habis-habisan soal dugaan ijazah palsu Jokowi yang ditegaskannya sudah diperlihatkan dan dipastikannya asli. Di media, Budi Arie masih membela Jokowi soal kereta cepat Whoosh.

Tidak ada tanda-tanda Budi Arie dan Projo akan bersimpang jalan dengan Jokowi, apalagi menghapus wajah Jokowi di logo Projo.

Tapi tiba-tiba di Kongres, Budi Arie menegaskan “Projo bukanlah singkatan dari Pro-Jokowi, tapi negeri atau rakyat”.

Baru kali ini pula kita mendengar bahwa Projo itu bukanlah singkatan dari Pro Jokowi.

Kata Budi Arie Projo berasal dari bahasa Sanskerta atau Jawa Kawi yang artinya negeri atau rakyat. Makanya slogan Projo adalah setia di garis rakyat.

Belasan tahun Projo tahunya Pro Jokowi dan dibiarkan begitu saja, kini malah sok-sok dikoreksi. Bahkan dikoreksi secara total pada logo Projo itu sendiri yang tak lagi memakai foto Jokowi.

“Agar kita tak lagi kultus individu,” kata Budi Arie enteng ngelesnya seperti menjilat kembali ludah.

Bisa pula Budi Arie bicara kultus individu saat ini. Setia di garis rakyat katanya, padahal dulunya hanya setia dengan Jokowi, dan kini bersama Prabowo. Tidakkah itu hanya akal-akalan politik Budi Arie saja?

Perubahan yang tiba-tiba saja dilakukan Projo jadi tanda tanya besar. Apakah bentuk dari perbedaan Projo dan Jokowi yang tak bisa dijembatani lagi? Ataukah strategi khusus yang justru disepakati untuk kepentingan politik masing-masing di kemudian hari?

Jokowi, bahkan Wapres Gibran, tidak hadir dalam acara Kongres ke-3 Projo kemarin. Justru yang terlihat hadir adalah Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad.

Di hadapan peserta Kongres, Budi Arie memastikan diri akan bergabung dengan Partai Gerindra. Dia merasa satu-satunya orang yang diminta Prabowo bergabung dengan Gerindra di depan forum resmi. Dia ingin memenuhi permintaan itu.

Keinginan Projo untuk menjadi partai politik sangatlah besar. Tapi Ketua Umumnya Jokowi, bukan Budi Arie Setiadi.

Budi Arie sadar diri kalau dia yang jadi Ketua Umum, nasib Partai Projo pasti akan sangat mudah diprediksi. Tapi kalau Jokowi langsung, masih lebih mendingan. Ada peluang besar.

Tapi justru Jokowi-lah yang tak percaya diri memakai nama Projo dan jaringannya. Jokowi lebih memilih memakai PSI sekalian membesarkan putra bungsunya, Kaesang Pangarep.

Itu dinilai lebih konkret ketimbang capek-capek membesarkan Budi Arie atau Projo yang tidak jelas. Sama-sama memulai dari nol, tapi PSI bukanlah nol besar seperti Projo. Ini bisa juga jadi faktor pemicu.

Entahlah, kalau ditanya masing-masingnya, baik Budi Arie Setiadi maupun Jokowi, siapa yang sudah berjasa membesarkan, mungkin jawabannya akan berbeda-beda pula.

Siapa pula Budi Arie atau Projo tanpa Jokowi? Sebaliknya, memangnya Jokowi bisa besar seperti saat ini tanpa Projo atau Budi Arie?

Budi Arie saat ini memang sudah besar dan sudah akan roboh pula. Makanya, dia butuh penopang yang kuat, agar tak roboh begitu saja.

Jokowi sudah bisa dipastikan tak bisa lagi jadi penopang. Sinyal ini baru terlihat satu tahun belakangan.

Ada Gibran, tapi seperti tak ada artinya. Budi Arie tentu lebih tahu peta yang sebenarnya. Ia tak mau roboh begitu saja bersama dengan Jokowi.

Kehadiran Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di Kongres Projo menandakan keputusan Budi Arie dan Projo itu memang tak main-main. Kalau sekadar main-main buat apa pula Sufmi Dasco (tangan kanan Prabowo) hadir?

Justru karena tak main-main itu Jokowi dan Gibran memilih tak hadir di Kongres Projo. Buat apa Jokowi atau Gibran hadir kalau hanya akan melihat prosesi berpindah-haluannya Projo dari dirinya ke Prabowo?

Alasan ketidakhadiran Jokowi seperti juga pada peringatan hari ulang tahun TNI, adalah karena sakit, tak bisa lagi dipegang. Bisa jadi itu strategi. Sakit hati mungkin, kalau benar dikibuli Budi Arie atau relawan sendiri.

Kalau masih ada yang tak percaya bahwa sudah bersimpang-jalannya Prabowo dan Jokowi, apa yang terjadi dengan Projo atau Budi Arie Setiadi saat ini, terlepas strategi, pecah kongsi, atau akal-akalan Budi Arie saja, adalah bukti.

Bukan karena ada pihak yang ingin Prabowo dan Jokowi pecah kongsi, seperti yang sering dikatakan pendukung Jokowi, tapi memang berkongsi dengan Jokowi saat ini tak ada gunanya dan tak bisa lagi dilakukan Prabowo.

Keinginan Jokowi untuk terus-menerus mendikte Prabowo, hanya sebatas keinginan yang memang tak bisa diwujudkan. Jokowi salah dalam membaca Prabowo. Prabowo memang akan terus menghormati Jokowi, tapi soal negara beda cerita.

Utang Whoosh harus dibayar, tapi korupsinya tak bisa dilepaskan begitu saja. Begitulah.

Mestinya Jokowi bisa memberikan posisi buat para relawannya di PSI. Justru yang ditarget Jokowi bukan para relawan, melainkan bekas petinggi parpol lain seperti NasDem, PDIP, PKS, dan lain-lain.

Mungkin saja Jokowi menganggap relawan seperti Projo atau Budi Arie tak akan bisa pergi ke mana-mana lagi. Mereka tak punya pilihan lain. Mereka tak perlu lagi posisi. Nama besar Jokowi sudah cukup bagi mereka.

Tapi Jokowi lupa, Budi Arie itu mantan menteri, kebutuhannya sudah berbeda. Tak cukup hanya dikasih gula-gula saja. Butuh juga mainan yang jelas. Kalau Jokowi saja tak percaya Projo, maka Projo pun layak tak mempercayai Jokowi. (*)

Komentar