Persidangan gugatan Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap Tempo Inti Media yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (3/11/2025), memantik gelombang kritik dari kalangan jurnalis. Gugatan senilai Rp200 miliar itu dinilai sebagai bentuk tekanan terhadap kebebasan pers di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Sejumlah jurnalis dan organisasi media menggelar aksi solidaritas di depan gedung pengadilan. Di tengah panasnya orasi, tiga host siniar Bocor Alus Tempo — Raymundus Rikang, Francisca Rosana, dan Husein Abri Dongoran — menyebut gugatan Amran sebagai “cela di wajah pemerintahan Prabowo”. Menurut mereka, gugatan besar terhadap media bukan hanya berlebihan, tapi juga menunjukkan ketidakdewasaan dalam menghadapi kritik publik.
Sorotan paling tajam datang dari Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nany Afrida. Dalam orasinya, ia menegaskan bahwa pejabat publik seharusnya memahami posisi media sebagai pengawas kekuasaan. “Kalau tidak mau dikritik, mundur saja dari jabatan publik,” ujarnya tegas. AJI menilai gugatan seperti ini bisa menciptakan efek gentar (chilling effect) bagi jurnalis, membuat media ragu mengungkap praktik-praktik yang berpotensi merugikan publik.
Kasus ini bermula dari laporan Majalah Tempo berjudul “Poles-poles Beras Busuk”, yang mengulas dugaan permainan dalam distribusi beras. Amran menganggap berita itu mencemarkan nama baiknya. Namun, Dewan Pers sebelumnya telah menyatakan bahwa pemberitaan tersebut masih berada dalam koridor jurnalistik.
Gugatan terhadap media bukan hanya soal nama baik, tetapi juga soal masa depan kebebasan pers. Di tengah tuntutan transparansi dan kritik sosial, sikap alergi terhadap sorotan publik justru memperlihatkan bahwa sebagian pejabat masih belum siap hidup dalam ruang demokrasi yang terang.







Komentar