NAH INI ANALISA VALID… DI BALIK RETORIKA PRABOWO PASANG BADAN WHOOSH

ANALISA Agustinus Edy Kristianto YANG TAJAM DAN VALID DI BALIK RETORIKA PRABOWO !!!

Kata Presiden Prabowo, jangan khawatir. Tidak usah ribut. Utang Whoosh, katanya, tanggung jawabnya: Rp1,2 triliun per tahun. “Duitnya ada, duit yang tadinya dikorupsi dan diambil negara, kemudian saya hemat,” ujarnya dalam pidato yang dikutip Kontan (4/11/2025).

Seperti biasa, setelah itu berlanjutlah retorika tentang betapa bangsa ini kuat, mampu, kaya, dan tak boleh membiarkan siapa pun mencuri kekayaan negara.

Sebuah pidato yang terdengar “bagus”, terutama di tengah dahaga rakyat yang haus akan kabar baik. Anggap saja seperti telaga di padang gersang—di negeri yang menurut Bank Dunia (2024) masih memiliki 194,6 juta jiwa atau 68,25 persen penduduk tergolong miskin, dan rata-rata IQ-nya hanya 78,49 menurut Lynn dan Becker (2019).

Namun di balik pidato itu, terselip taktik komunikasi klasik yang kerap disebut smoke and mirrors—asap dan cermin. Strategi yang dirancang untuk mengendalikan narasi, memanipulasi persepsi, sekaligus mengalihkan perhatian publik dari persoalan utama.

Orang diselimuti asap agar percaya bahwa cicilan utang Rp1,2 triliun per tahun bukan perkara besar, apalagi jika dibungkus dengan dalih populis seperti “hemat” dan “antikorupsi.”

Padahal ilusi itu menutupi fakta yang jauh lebih serius. Pemerintah kabarnya tengah berencana memperpanjang tenor utang hingga enam puluh tahun—sebuah restrukturisasi yang berpotensi membuat total beban pokok dan bunga melonjak hingga sekitar Rp160 triliun.

Pokok utang awal proyek saja sudah mencapai sekitar Rp75 triliun dengan bunga dua persen, belum termasuk utang tambahan akibat cost overrun sebesar Rp9 triliun berbunga 3,3 persen.

Di atas semua itu, tak pernah benar-benar ada audit kriminal yang menelusuri asal-muasal utang tersebut, serta siapa otak yang semestinya diseret untuk bertanggung jawab atas dugaan penyimpangan di baliknya.

Saya pun meragukan, setelah Presiden menyatakan—seolah palu pengadilan telah diketukkan—bahwa proyek Whoosh “tidak ada masalah”, apakah KPK masih memiliki keberanian untuk melanjutkan penyelidikan ini.

Ada kesan bahwa presiden sengaja mengerdilkan urusan negara menjadi sekadar persoalan pribadi: seolah selama ia yang menjamin, semuanya baik-baik saja.

Cara berpikir seperti ini menggeser fokus publik dari debat tentang kualitas kebijakan dan kredibilitas pejabat yang membuatnya.

Maka tak heran jika muncul kritik bahwa gaya kepemimpinan semacam ini bersifat otoriter—segala hal berpusat pada satu orang, padahal negara demokrasi seharusnya tidak dijalankan dengan cara demikian.

Namun mau bagaimana lagi. Di tengah situasi politik yang kian tertutup, “pasang badan atas nama keberlanjutan” tampaknya telah menjadi kredo baru yang menutupi sesat pikir dan sesat arah pembangunan infrastruktur ala Mulyono.

Salam,

(Agustinus Edy Kristianto)

Komentar