Whoosh, whoosh — bablas anggarane

Wuzzz!

Prinsip dasar transportasi massal (dalam hal ini kereta cepat), transportasi umum, adalah layanan publik. Tidak diukur dari laba, tapi diukur dari keuntungan sosial ✅

Itu diringkas dari pernyataan mantan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.

Dalam pandangan ekonomi publik, premis yang disampaikan mantan Presiden Jokowi di atas benar. Negara wajib memenuhi atau menyelenggarakan layanan publik setidaknya karena 2 hal:

  • Pertama, layanan tersebut terlampau mahal padahal mendesak untuk dipenuhi tapi secara ekonomi tidak menguntungkan pihak swasta.
  • Kedua, manfaatnya besar bagi masyarakat maupun lingkungan (mengatasi kemacetan, menyediakan moda alternatif, mengurangi polusi, dan seterusnya).

Ada lagi sebenarnya ciri paling menonjol dari layanan publik: semua orang dapat mengaksesnya (tidak bisa dibatasi dengan tiket mahal). Tapi tidak usah dibahas ya. Kalo dipaksakan dibahas, tulisan ini langsung bisa berhenti di sini! 😅

Jepang sejak awal sudah memberikan peringatan dini. Untuk urusan seperti ini, memang negerinya Sanae Takaichi itu kajian dan hitungannya njlimet dan penuh kehati-hatian. Itu yang sepertinya membuatnya mahal (tampak mahal).

“Ndon, ini tuh proyek mihil bin lebay lho. Boleh saja, tapi syaratnya pemerintah harus bertanggung jawab soal pembiayaan (G to G). Apa ndak lebih baik bikin yang medium speed aja (tidak usah kereta super cepat) — itu sudah dua kali lebih cepat dari kereta sekarang. Jumlah penumpangnya (kereta medium speed) malah bisa lebih banyak.”

China laen. Syaratnya ndak senjlimet dan semacem-macem itu. Biaya gampanglah — bisa diatur dengan skema B to B (tidak ada tanggungjawab pemerintah, murni bisnis to bisnis), pinjaman jauh lebih lunak (50 tahun), keretanya tetap jauh lebih cepat dan wow, di ASEAN belum ada.

(Jonan, menteri yang seharusnya paling berkepentingan saat itu, bahkan secara eksplisit menolak proyek tersebut. Mau digarap siapa pun. Alasannya jelas: proyek tidak layak secara ekonomi dan akan menjadi beban fiskal)

Dari dua proposal tersebut, terlihat jelas logikanya; satu menggunakan pendekatan ekonomi (proposal Jepang), lainnya menggunakan pendekatan politik (proposal Cina).

Satu terus terang sejak awal soal tanggung jawab negara (proposal Jepang), lainnya “provokasi” mendorong privatisasi (proposal Cina).

Satu mengajak prudent (kehati-hatian) dengan menghitung semua detil, lainnya menawarkan biaya siluman.

Dan “privatisasi” (B to B ala Cina) itu pun akhirnya mengalami kegagalan, persis dugaan banyak pihak. Perusahan sudah sangat butuh alat bantu pernafasan dari negara.

Sialnya, yang dulu dianggap mahal (proposal Jepang) ternyata justru jauh lebih murah.

Whoosh, whoosh — bablas anggarane

~matdogol~

Komentar