


Lebih dari 2.000 warga sipil dilaporkan tewas dalam waktu singkat usai kota El-Fasher direbut oleh pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF).
Laporan-laporan kredibel, termasuk rekaman satelit dan investigasi lembaga kemanusiaan, menuduh RSF melakukan pembantaian etnis terhadap warga Fur, Zaghawa, dan Berti secara sistematis.
Jumlah korban tewas akibat pembantaian di Kota Al Fasher di Provinsi Darfur Utara, Sudan, bertambah menjadi 2.200 orang ,setelah kota tersebut secara penuh diambil alih oleh kelompok pemberontak Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pada 26 Oktober 2025.
Sementara itu, lebih dari 390.000 warga terpaksa mengungsi.
Peran Uni Emirat Arab
Perang yang telah berlangsung sejak tahun 2023 tersebut kembali menjadi sorotan dan beberapa menunjuk negara Uni Emirat Arab (UEA) sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Tuduhan terhadap UEA atas perannya dalam perang Sudan yang telah memakan lebih dari 150 ribu korban jiwa dan menghasilkan jutaan pengungsi lainnya telah lama dilontarkan oleh organisas-organisasi internasional.
Lantas, bagaimana sebenarnya dugaan peran UEA dalam memperpanjang konflik berdarah di Sudan?
Berikut penjelasannya berdasarkan dokumen resmi, laporan investigasi, dan fakta-fakta yang telah diverifikasi.
Transfer Persenjataan oleh UEA untuk RSF
Dalam beberapa laporannya, Amnesty International mengungkap bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan UEA dalam pelanggaran embargo senjata Dewan Keamanan PBB.
Salah satu temuan penting tercatat pada 9 Maret 2025, ketika RSF menggunakan bom udara terpandu Norinco GB50A buatan Tiongkok dalam serangan drone di al-Malha, Darfur Utara. Ini merupakan penggunaan pertama di dunia atas bom tersebut dalam konflik bersenjata.
Penanda produksinya menunjukkan bahwa bom ini dibuat pada tahun 2024 dan kompatibel dengan drone Wing Loong II dan FeiHong-95—jenis drone yang diketahui telah dipasok UEA kepada RSF.

Selain itu, Amnesty juga menemukan keberadaan howitzer 155mm AH-4 buatan Norinco di Khartoum.
Menariknya, satu-satunya negara yang tercatat mengimpor senjata ini dari Tiongkok adalah UEA pada tahun 2019.
Tak hanya itu, sebelumnya pada 14 November 2024, laporan Amnesty lainnya mencatat penggunaan kendaraan lapis baja Nimr Ajban produksi Edge Group (UEA) oleh pasukan RSF.
Jalur Pasokan dan Jaringan Keuangan di UEA
Laporan Akhir Panel Ahli PBB tentang Sudan pada 15 Januari 2024 mengungkap adanya tiga jalur utama pasokan senjata menuju RSF, dengan jalur paling signifikan melalui wilayah timur Chad.
Panel mencatat bahwa sejak Juni 2023, terdapat peningkatan signifikan dalam frekuensi penerbangan kargo dari Abu Dhabi ke bandara Am Djarass, yang kerap transit di negara-negara seperti Kenya, Rwanda, dan Uganda.
Meski UEA mengklaim bahwa penerbangan-penerbangan tersebut bertujuan mengirimkan bantuan kemanusiaan dan mendirikan rumah sakit lapangan, informasi dari berbagai sumber di Chad dan Darfur menunjukkan bahwa dugaan pengiriman senjata dari penerbangan tersebut dianggap kredibel.
Kargo tersebut diduga mencakup UCAV (drone tempur), rudal, mortir, amunisi, dan kendaraan tempur, yang kemudian disalurkan ke Darfur melalui jalur darat dari Chad.
Di bidang keuangan, Panel juga menemukan adanya jaringan perusahaan proksi milik RSF yang beroperasi di Dubai. Salah satu tokoh kunci dalam jaringan ini adalah mantan pejabat senior Bank Sentral Sudan yang bertindak sebagai penasihat keuangan RSF.
Ia terlibat dalam pengelolaan transaksi besar, termasuk pengiriman emas sebanyak 50 kilogram pada Mei 2023, yang digunakan sebagai sumber pendanaan utama RSF setelah pecahnya konflik.
Keterlibatan Personel Militer UEA di Sudan
Laporan eksklusif The Guardian tahun 2024 mengungkap temuan dokumen internal yang dikirim ke Dewan Keamanan PBB, ditemukan di reruntuhan kendaraan milik RSF di Omdurman. Dokumen tersebut memuat paspor Emirat yang diduga kuat milik seorang petugas intelijen Uni Emirat Arab.
Temuan ini diperkuat dengan adanya laporan dalam dokumen tersebut bahwa UEA telah mengirimkan drone yang dimodifikasi untuk menjatuhkan bom termobarik ke tangan RSF.
Kotak pengiriman drone tersebut bahkan diberi label atas nama “UAE Armed Forces, joint logistics command based in Abu Dhabi,” yang mengindikasikan keterlibatan militer resmi.
Kendati demikian, UEA membantah seluruh tuduhan dan mengklaim bahwa individu dalam dokumen tersebut berada di Sudan untuk menjalankan misi kemanusiaan sebelum pecahnya perang.
Meski begitu, pemantau sanksi dari PBB menilai bahwa dugaan dukungan militer UEA terhadap RSF tetap layak dipercaya dan masuk kategori “credible.”







Komentar