Dalam percaturan politik dan ekonomi Indonesia yang semakin kompleks, publik mulai menyoroti munculnya figur-figur baru di kabinet maupun lingkar kekuasaan ekonomi nasional. Salah satu nama yang kini banyak menuai pujian adalah Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang relatif baru menjabat namun dianggap membawa angin segar dalam tata kelola fiskal negara.
Namun, seperti diungkapkan oleh pengamat politik Rocky Gerung, kemajuan itu bisa terhambat jika kabinet masih diisi oleh “tiga wajah lama” yang dinilainya lebih sibuk membangun citra dan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan bangsa.
Rocky tak menyebut nama secara langsung, tetapi arah kritiknya jelas: Bahlil Lahadalia, Erick Thohir, dan Airlangga Hartarto.
Purbaya dan Harapan Baru dari Kementerian Keuangan
Sejak menjabat, Purbaya dikenal menonjolkan rasionalitas dan disiplin data dalam setiap kebijakan fiskal. Ia menolak intervensi politik dalam penentuan arah anggaran dan mengedepankan analisis berbasis bukti (evidence-based policy).
Kinerjanya dianggap cepat beradaptasi: menekan defisit tanpa memangkas sektor produktif, mengarahkan subsidi agar lebih tepat sasaran, serta berani memperbaiki struktur belanja negara. Transparansi dan gaya komunikasinya yang sederhana menjadikan ia sosok menteri yang mudah diterima publik.
Purbaya dipandang sebagai representasi birokrat ekonom yang bersih dan tidak terjebak dalam politik pencitraan — hal yang justru dianggap menjadi kelemahan utama beberapa koleganya di kabinet.
Bahlil: Antara Energi dan Kontroversi
Nama Bahlil Lahadalia kerap muncul dalam daftar pejabat yang paling banyak menuai kritik. Dari isu “doktor kilat” di Universitas Indonesia hingga kebijakan pencabutan izin tambang yang dianggap tebang pilih, sepak terjang Bahlil kerap memancing perdebatan.
Ia memang dikenal agresif, tapi dalam banyak kasus, agresivitas itu justru menimbulkan kesan tidak stabil secara kebijakan. Langkahnya yang mencabut ribuan izin tambang tanpa mekanisme yang transparan dianggap sebagai bentuk otoritarianisme ekonomi.
Kebijakan pembatasan LPG 3 kg dan restrukturisasi BBM juga membuatnya tampak jauh dari publik kecil yang dulu kerap ia bela. Dalam survei terakhir, Bahlil bahkan tercatat mendapat penilaian negatif tertinggi di antara para menteri.
Erick Thohir: Antara BUMN dan Ambisi Politik
Sebagai Menteri BUMN, Erick Thohir punya rekam jejak panjang di dunia bisnis dan olahraga, namun publik mulai mempertanyakan seberapa dalam komitmennya terhadap reformasi BUMN.
Sejumlah pengamat menilai Erick terlalu sering mengaitkan kinerja korporasi negara dengan agenda politik pribadi. BUMN disebut berubah menjadi “arena branding politik”, bukan mesin ekonomi produktif.
Beberapa proyek besar dinilai lebih menonjolkan pencitraan ketimbang efisiensi. Kritik juga datang dari DPR yang menilai Erick kurang transparan dalam sejumlah rencana restrukturisasi perusahaan negara.
Meski punya kemampuan komunikasi publik yang kuat, banyak yang menilai arah kepemimpinannya masih terjebak antara idealisme bisnis dan pragmatisme politik.
Airlangga: Politik Menggerus Fokus Ekonomi
Sebagai Menko Perekonomian sekaligus mantan Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto menghadapi dilema klasik antara mengurus ekonomi dan menjaga posisi politik.
Ia kerap dikritik karena dianggap tidak mampu memaksimalkan koordinasi lintas kementerian, terutama dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional. Kritik juga muncul terkait stagnasi elektabilitas Golkar di bawah kepemimpinannya dan sejumlah kebijakan ekonomi yang dinilai kurang progresif.
Posisi ganda sebagai pejabat publik dan tokoh partai membuat langkahnya sering tampak hati-hati — bahkan ragu. Dalam konteks kabinet yang membutuhkan ketegasan dan visi jangka panjang, gaya kepemimpinan semacam ini justru bisa menjadi penghambat.
Menjaga Momentum Reformasi
Jika publik menaruh harapan pada Purbaya Yudhi Sadewa sebagai simbol profesionalisme dan transparansi baru dalam kabinet, maka harapan itu hanya bisa tumbuh jika lingkar kerja pemerintah bebas dari ambisi pribadi dan kepentingan politik jangka pendek.
Sebagaimana sering diingatkan Rocky Gerung, “bangsa ini maju bukan karena orang pintar, tapi karena orang jujur dan mau bekerja.” Dalam konteks itu, Purbaya mungkin punya kualitas pertama dan kedua, namun keberhasilannya akan ditentukan oleh siapa yang duduk di sekelilingnya.







Komentar