“Haha… ada-ada saja. Gimana bisnis, lancar?”

Di negara yang sehat wal’afiat itu, selalu ada pihak penyeimbang kekuasaan, yang mengkritisi kebijakan.

Negara demokrasi misalnya, ada oposisi. Yang bersuara.

Tapi Indonesia itu lain sendiri.

Demokrasi versi timur, versi kearifan lokal.

Yang jadi penyeimbang adalah sesama pejabat itu juga.

Maka, 10 tahun terakhir biasa banget melihat Pak Jokowi mengkritik Presiden.

Dikit-dikit, Pak Jokowi sudah muncul dan bicara, mengkritik Presiden.

Era baru, polanya akan serupa saja. Sesama pejabatlah yang jadi penyeimbang. Pak Prabowo mengkritik Presiden. Sesama Menteri saling mengkritik.

Entah mereka betulan sedang berdiskusi, berdebat; atau hanya pura-pura saja.

Karena toh, aduh, orang-orang ini punya nomor HP satu sama lain.

Habis ‘berantem’ di depan wartawan, mereka sudah saling chat deh di group.

“Wah, ente sekarang ngetop banget, Pupu.”
“Nggak jugalah, lebih top elu, Bapak Aing. Gw berguru sama elu.”
“Haha… ada-ada saja. Gimana bisnis, lancar?”
“Lumayan.”
“Eh, itu si Anak Abah pindah ngefans sama elu deh, Pupu.” –> pejabat lain ikut chat.
“Kata siapa?”
“Juga Termul2, gitu katanya.”
“Ah teman kita Pupu ini, semua orang ngefans sekarang. Tapi sesama sopir bus jangan saling mendahului.” –> pejabat lain ikutan muncul.
“Hahaha, elu bisa saja, Lul!”

Itu chat imajinasi saja. Tapi Indonesia gitu loh, apapun mungkin di sini. Ketua DPR, Ketua MK, Menteri, Jenderal, Hakim, Jaksa, Gubernur, Bupati, Walikota, Gubernur BI, anggota BPK, anggota KPU, bahkan Ketua KPK pun lumrah saja masuk penjara atau jadi tersangka korupsi.

80 tahun merdeka, ada buanyak negara lain yg lebih telat merdeka, tapi lebih maju dibanding Indonesia.

Tidak percaya? Pergilah ke Malaysia, Korea Selatan, dkk.

(Tere Liye)

Komentar