“Kenapa orang Muslim di Filipina masih suka memberontak?”

Pertanyaan itu sering terdengar.
“Kenapa orang Muslim di Filipina masih suka memberontak?”
“Kenapa mereka tak mau damai saja, ikut arus negara yang sudah merdeka?”

Tapi barangkali, yang seharusnya kita tanya adalah kebalikannya:
Kenapa mereka masih harus memberontak?
Apa yang sebenarnya terjadi hingga sebuah bangsa yang dulu berdaulat,
kini disebut separatis di tanahnya sendiri?

🟢Dari Negeri Islam

Sebelum kapal-kapal Eropa menjejakkan jangkar di pesisir Filipina, tanah itu telah mengenal Islam.

Sejak abad ke-14, para ulama dan pedagang dari Malaka, Brunei, dan Arab datang membawa cahaya.
Mereka mengajarkan kalimat tauhid, membangun masyarakat beradab, dan menanam hukum Allah di bumi Sulu dan Mindanao.

Tahun 1450, berdirilah Kesultanan Sulu,
disusul Kesultanan Maguindanao pada awal 1500-an.
Dua kerajaan Islam yang berdaulat, teratur, dan makmur.

Mereka memiliki Pelabuhan, Peradaban, bahkan Kerajaan.

🟣1521 – Datangnya Salib dan Pedang

Tahun 1521, datanglah Ferdinand Magellan,
membawa salib di satu tangan dan pedang di tangan lainnya.

Ferdinand Magellan and the Beginning of Christianity in the Philippines
https://www.santonino500.com/ferdinand-magellan-fernao-magalhaes-and-the-beginning-of-christianity-in-the-philippines/

Semboyan mereka jelas: Gold, Glory, and Gospel (Emas, Kejayaan, dan Injil).

Di bawah bendera Tuhan, mereka menaklukkan Luzon dan Visayas,
membaptis penduduk, menghancurkan masjid,
dan memaksa yang tersisa untuk tunduk pada salib.

Umat Islam disebut kafir.
Yang melawan dianggap musuh Tuhan.
Dan di sanalah luka pertama ditorehkan.

🕌 1578–1898 – Perang Salib di Timur

Perlawanan datang dari selatan.
Dua kesultanan Sulu dan Maguindanao, bangkit mempertahankan iman.
Selama tiga abad, mereka melawan penjajahan Spanyol.

Bagi Spanyol, perang itu bukan sekadar politik.
Itu adalah lanjutan dari Reconquista perang melawan Islam yang dahulu mereka menangkan di Andalusia.
Musuhnya sama: kaum Muslimin.
Hanya tempatnya berganti, dari Granada ke Mindanao.

Mereka menyebut umat Islam dengan nama lama: “Moro”,
dari kata Moors, musuh Islam di Spanyol.
Dan hingga kini, nama itu melekat bukan sebagai kehormatan,
melainkan sebagai label pemberontak.

🔴1898 – Penjajahan Baru Amerika

Ketika Spanyol kalah oleh Amerika pada 1898,
Filipina dijual seharga 20 juta dolar.
Bagi rakyat Moro, penjajah hanya berganti bendera.

Amerika datang dengan dalih “modernisasi”,
tapi yang mereka bawa adalah kolonialisasi baru.
Mereka membubarkan sistem kesultanan,
menghapus hukum Islam, dan menyita tanah adat.

Lalu melalui program transmigrasi (1903–1930-an),
ratusan ribu penduduk Kristen dari utara dipindahkan ke Mindanao.
Perlahan, umat Islam yang dulu mayoritas
berubah menjadi minoritas di tanah leluhurnya sendiri.

🔵1946 – Merdeka, Tapi Tidak Bagi Semua

Filipina merdeka tahun 1946.
Namun kemerdekaan itu tidak menyentuh Mindanao.
Pemerintahan pusat — dikuasai elite Kristen —
memandang selatan sebagai wilayah terbelakang.

Tanah adat dirampas atas nama pembangunan.
Rakyat Moro tersingkir dari politik, ekonomi, dan pendidikan.
Ketidakadilan menumpuk, luka sejarah makin dalam.

Bagi mereka, penjajahan tak pernah benar-benar berakhir.
Hanya berganti wajah dari Spanyol ke Amerika,
dan kini ke sesama anak bangsa.

1970 terbentuknya front front perlawanan diwilayah Moro yang hingga kini belum berakhir upaya untuk merebut kembali kemerdekaan mereka.

(Ngopidiyyah)

Komentar