Tahu nda teman-teman, Sudan dulu pernah dijuluki “Irannya Afrika”.
Serius? Bagaimana ceritanya? Memangnya Sudan Syiah?
Begini ceritanya.
Selama beberapa dekade, Sudan dikenal sebagai “Iran-nya Afrika”, bukan karena kesamaan mazhab, tetapi karena semangat perlawanan anti-Zionis dan kemandirian politik luar negerinya.
Jadi dalam lanskap dunia Arab, ada dua poros, kubu yang memberi loyalitas kepada Barat dan kelompok yang resistensi terhadapnya.
Sudan di bawah kepemimpinan Omar al-Bashir (1989–2019) tampil sebagai negara Afrika berkarakter muqawamah (perlawanan). Ia menolak tekanan Washington, menentang Israel, dan menjalin hubungan strategis dengan Republik Islam Iran.
Pada dekade 1990–an hingga 2010–an, Sudan menjadi mitra strategis Iran di Afrika Timur. Teheran membangun pabrik senjata di Khartoum, mengirim penasihat militer, dan memanfaatkan pelabuhan Sudan sebagai jalur pengiriman senjata ke Gaza. Akibatnya, Iran dan Sudan sama-sama dipandang Barat sebagai negara “nakal” (rogue states).
Bashir menjadikan anti-Zionisme sebagai pilar ideologi negara. Sudan menjadi satu-satunya negara Afrika yang menolak keras inisiatif perdamaian Arab-Israel dan secara terbuka menyebut Israel sebagai “kanker dunia Islam.”
Dari sinilah muncul julukan “Iran-nya Afrika” karena Sudan, seperti Iran, memandang perlawanan terhadap Zionisme bukan sekadar urusan politik, melainkan misi ideologis dan religius. Seerat apapun dengan Iran saat itu, catat ya, Sudan tetap negeri Sunni. Tidak terjadi geliat penyebaran Syiah di Sudan secara massif.
Namun, kemudian segalanya berubah ketika perang Yaman pecah pada 2015. Berada di bawah tekanan embargo politik dan ekonomi selama bertahun-tahun membuat Sudan kelimpungan. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menekan Khartoum agar memutus hubungan dengan Iran sebagai syarat dukungan finansial.
Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk akibat sanksi AS dan konflik internal, Bashir akhirnya menyerah pada tekanan itu. Pada Januari 2016, Sudan secara resmi memutus hubungan diplomatik dengan Teheran.
Sejak saat itu, Sudan mulai bergerak ke orbit Saudi–UEA–AS, meninggalkan poros resistensi yang pernah dibangunnya. Langkah ini membuka jalan bagi normalisasi dengan Israel di masa pemerintahan berikutnya. Pilihan Bashir meninggalkan Iran dan beralih ke poros Arab-AS berujung petaka. Ia kehilangan kepercayaan rakyat. Aksi demonstrasi meluas di seluruh Sudan menuntutnya mundur. Momen yang kemudian dimanfaatkan militer untuk melakukan kudeta. Bashir jatuh pada tahun 2019 dan menjadi pesakitan di penjara atas tuduhan korupsi.
Kekuasaan kemudian diambil alih oleh Dewan Kedaulatan Sudan, gabungan antara militer dan sipil di bawah Abdel Fattah al-Burhan dan Abdalla Hamdok. Namun tetap sama, kedua pemimpin ini menghadapi tekanan besar dari Washington. Amerika Serikat mensyaratkan pencabutan Sudan dari daftar negara sponsor terorisme hanya jika Khartoum menormalisasi hubungan dengan Israel.
Pada 23 Oktober 2020, Sudan menyetujui normalisasi sebagai bagian dari Abraham Accords. Pada 6 Januari 2021, kesepakatan diteken di Khartoum di hadapan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin. Namun, normalisasi ini tidak pernah diterima oleh rakyat Sudan. Protes besar-besaran kembali meletus di Khartoum, menolak pengkhianatan terhadap Palestina dan menuding pemerintah transisi tunduk pada “politik uang Teluk.”
Kondisi benar-benar tidak pernah stabil sampai akhirnya Jenderal Burhan sebagai Kepala Dewan Kedaulatan Sudan mengembalikan arah politik Sudan yang anti Zionis. Dia membatalkan normalisasi dengan Israel dan kembali secara resmi memulihkan hubungan diplomatik penuh dengan Iran setelah tujuh tahun terputus.
Kementerian Luar Negeri Iran mengumumkan pembukaan kembali kedutaan besar di Khartoum, yang sebelumnya ditutup pada 2016. AS-Israel marah besar. Pasukan Dukungan Cepat (RSF) pimpinan Mohammed Hamdan Dagalo (Hemedti) melancarkan pemberontakan.
Berbagai laporan dari Middle East Eye, Al-Mayadeen, The Guardian, dan Haaretz mengungkap bahwa UEA dan Israel diduga menjadi pendukung utama RSF dengan suplai senjata, pelatihan, dan logistik. Tujuannya bukan hanya mempertahankan pengaruh Teluk di Afrika, tetapi juga mencegah munculnya pemerintahan Sudan yang pro-poros perlawanan.
Keterlibatan ini menyingkap wajah lama konflik geopolitik: setiap kali negara Muslim berpotensi mandiri dan berdaulat, Zionisme dan hegemoni Barat menampakkan cakar militernya.
Kini, media-media Sudan kembali menyebut Israel sebagai dalang perang, sementara rakyat menyebut RSF sebagai “tentara bayaran Zionis-Emirat.”
Mengapa Israel terlibat perang di Sudan?
Salah satu alasan utama campur tangan Israel di Sudan adalah ketakutan terhadap aliansi Yaman–Sudan. Jika Sudan (di bawah pemerintahan pro-resistensi) bekerja sama dengan Yaman yang kini dipimpin gerakan Ansarullah, maka kedua negara dapat menguasai penuh jalur Laut Merah. Kendali atas jalur strategis itu berarti ancaman langsung terhadap kapal-kapal AS, Inggris, dan Israel, yang bergantung pada rute tersebut untuk perdagangan dan logistik militer.
Karena itu, Israel, UEA, dan Arab Saudi berupaya keras mencegah Sudan bergabung ke poros perlawanan. Mereka lebih memilih Sudan yang terpecah, lemah, dan tergantung pada bantuan luar ketimbang Sudan yang berdaulat dan bersatu dengan Iran-Yaman dan Palestina.
Begitu jalan ceritanya teman-teman. Sudan mungkin hancur secara fisik, tetapi kesadarannya bangkit.
Dari reruntuhan Khartoum, dari darah rakyat Darfur dan El-Fasher, tumbuh kembali semangat lama, semangat yang membuat dunia dulu menyebutnya “Iran-nya Afrika” dan mungkin Sudan mendapat julukan baru, “Gaza di Afrika”.
(Oleh: Ismail Amin)







Komentar