Ekonom senior, Ichsanuddin Noorsy, mengkritik mantan Presiden Jokowi yang menyebut tujuan pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) alias Whoosh untuk layanan sosial atau social service bagi masyarakat.
Menurut Noorsy, tidak semua kalangan bisa menikmati Whoosh sebagai moda transportasi. Dia mengatakan mayoritas pengguna Whoosh adalah kalangan menengah ke atas.
Dia mengungkapkan istilah layanan hanya bisa dikaitkan dengan pelayanan negara terhadap masyarakat miskin.
“Dalam istilah public services itu, ada istilah social services ya? Apa itu layanan sosial dalam konstruksi APBN. Saya nggak ngerti itu, kayaknya saya harus belajar lagi, ya.”
“Yang saya tahu itu public benefit bukan social services. Kalau layanan sosial itu bagi panti jompo, orang miskin, anak terlantar. Tapi bagi kereta api cepat yang dilayani adalah orang kaya, kalimatnya bukan social services,” katanya dikutip dari program On Focus di YouTube Tribunnews, Kamis (29/10/2025).
Dia mengatakan pemahaman yang salah terkait penggunaan istilah layanan sosial dalam tujuan pembangunan Whoosh berbuntut panjang.
Ia mengungkapkan hal ini sampai berdampak bagaimana cara Indonesia memposisikan diri dalam membuat kerja sama dengan China terkait pembiayaan Whoosh.
“Ada problematik pemahaman nilai-nilai atas namanya pembiayaan, public services, dan kebijakan-kebijakan dasar di bidang transportasi via darat, khususnya kereta api cepat, khususnya lagi dalam kerja sama internasional,” jelasnya.
Lebih lanjut, Noorsy mengungkapkan penyematan istilah yang salah terhadap suatu kebijakan menjadi wujud banyaknya pejabat publik di Indonesia tidak memiliki kompetensi.
Dia mencontohkan salah satu institusi yang diisi oleh pejabat tidak kompeten yakni BUMN.
“Itu menunjukkan banyak pejabat di Indonesia inkompeten, kompetensinya rendah. Dia punya jabatan-jabatan tinggi ternyata kompetensinya rendah, tidak paham konstitusi dan tak punya keahlian.”
“Sama seperti kemarin saya bicara di BUMN. Itu kelihatan, wah ngeri banget saya ngelihatnya,” tegasnya.
Noorsy mengaku tidak bisa membayangkan arah kebijakan negara ketika jabatan publik diisi oleh orang yang tidak memiliki kompetensi.
“Kebayang nggak kalau negara diurus oleh manusia-manusia seperti itu,” tuturnya.







Komentar