Apabila paham Tauhid, maka Tidak Ada Pengangguran di Indonesia?

𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐠𝐠𝐮𝐫 = 𝐓𝐢𝐝𝐚𝐤 𝐁𝐞𝐫𝐭𝐚𝐮𝐡̣𝐢̄𝐝?

Oleh: Arsyad Syahrial

Pernyataan ustad ini adalah penyederhanaan yang kebablasan terhadap suatu masalah besar — padahal “pengangguran” dalam ìlmu ekonomi itu adalah fenomena kompleks, sampai-sampai punya cabang kajian tersendiri di Fakultas Ekonomi, dan di rezim pemerintahan diurus khusus oleh Kementerian Tenaga Kerja.

Artinya: ini bukan urusan “Tauḥīd lemah / kurang mantap”.

Dalam realitas perekonomian, pengangguran tak bisa dilepaskan dari tiga pelaku pasar:

  1. Individu
  2. Dunia usaha
  3. Pemerintah.

(1) Dari sisi individu benar ada yang menganggur karena malas. Tapi proporsinya kecil. Umumnya, orang yang bisa santai-santai tanpa kerja itu karena masih bisa “menumpang hidup” entah ke orang tua, saudara, mertua, teman, dll.

Mayoritas rakyat? Kalau tidak kerja, ya tidak makan.

Mayoritas penyebab pengangguran ini ada pada ketidakcocokan keterampilan (skill mismatch), di mana pekerjaan tersedia, tapi tidak sesuai dengan kemampuan tenaga kerja.

(2) Sedangkan dari sisi bisnis, pengangguran terjadi karena perusahaan tidak melakukan rekrutmen akibat iklim perekonomian lesu sehingga investasi seret.

(3) Dari sisi pemerintah, pengangguran terjadi akibat dari kebijakan perpajakan yang rumit / menyusahkan, dan tentunya tarif pajak & bea yang tinggi. Selain itu, korupsi yang merajalela dan ketidakmampuan rezim pemerintahan menciptakan keadaan yang aman / stabil yang bebas dari pemalakan liar baik oleh preman / dunia hitam maupun oleh oknum berseragam OrMas. Semua itu bikin lapangan kerja tidak tumbuh dikarenakan perekonomian lesu.

Sedangkan kalau individu disuruh jadi pengusaha / entrepreneur, maka bisnis butuh skill, modal, jaringan, dan keberanian menghadapi risiko, yang mana tak semua orang memilikinya.

Jadi kalau pengangguran dianggap tanda lemahnya tauḥīd, maka yang sebenarnya lemah adalah pemahaman ustad itu terhadap ekonomi dan agama itu sendiri.

Juga karena paham sebagian “salafi” yang selalu memihak penguasa, menyalahkan rakyat, dan menafsirkan setiap muṣībah sebagai “īmān rakyat yang kurang” sehingga pengangguran pun disalahkan 100% ke rakyat — padahal sistem, kebijakan, dan ke korupsi punya andil yang sangat besar terhadap tingginya angka pengangguran.

Terus terang heran dengan ustad kelompok ini, mereka selalu menggadang-gadang ìlmu dulu sebelum àmal, tapi ia suka bicara tanpa ìlmu.

BTW, pengàmalan Tauḥīd itu tak bertentangan dengan rasionalitas. Kalau pengangguran diselesaikan dengan “ceramah tauḥīd”, bukan dengan kebijakan ekonomi dan reformasi sistem, ya wajar negara tetap penuh pengangguran… karena yang sibuk bicara justru orang yang tak paham masalahnya. (*)

Komentar