Belum lama ini, sebuah curhatan dari seorang tenaga gizi yang mengungkapkan pengalamannya saat bekerja di salah satu dapur MBG mencuri perhatian. Lewat unggahannya, ia mencoba menuangkan “pengalamannya” dengan cara yang unik dan penuh sindiran.
Dalam unggahan tersebut, ia menyebut catatan itu sebagai “tips” menjadi ahli gizi MBG.
“1. ikut penerimaan bahan pangan bareng akuntan. 2. bikin siklus menu 10 hari walaupun ujungnya suka ga kepake karena diganti-ganti sama atasan, 3. bikin PO bahan pangan bareng akuntan. 4. mantau+ikut bantu tim pemorsian dari jam 2 sampe jam 9 pagi (jangan ditinggal tidur ya nanti dianggap ga becus),” tulisnya.
Setelah itu, ia masih menambahkan beberapa poin lain yang memperlihatkan betapa padatnya tanggung jawab yang harus ditanggung. Bahkan urusan pribadi seperti makan dan tidur pun hanya dianggap pilihan. “5. mantau CCTV kalau lagi ga di dapur. 6. makan (opsional), 7. tidur (opsional),” lanjutnya.
Pada akhirnya, daftar panjang itu ditutup dengan sebuah keputusan. Ia memilih untuk berhenti dari pekerjaannya. “8. resign,” endingnya.
Dalam bagian lain curhatannya, ia menjelaskan alasan terbesar di balik keputusannya meninggalkan pekerjaan tersebut. Tekanan yang datang dari berbagai arah membuatnya merasa tak sanggup lagi bertahan.
“Sebenarnya karena gaji dirapel iya, tapi lebih ke ga kuat fisik sama mental akunya, soalnya ga bisa istirahat, kalo ga keliatan di dapur bentar aja kena tegur, masalah apa2 larinya ke aku semua, dimaki2 udah jadi makanan tiap hari. Tekanannya besar, beban kerja ga masuk akal, tanggung jawab besar, resiko tinggi,” katanya.
Ia juga menggambarkan betapa padatnya ritme kerja yang harus dijalani setiap hari. Proses memasak dan pemorsian berlangsung sepanjang malam tanpa waktu istirahat yang cukup.
“Jam 9 malam (baru masak), jam 2 pagi mulai diporsikan ke dalam ompreng, karena masak 3500 porsi butuh waktu yang lama,” jelasnya.
Salah satu netizen sempat bertanya mengapa proses memasak tidak dimulai pukul 2 malam saja, mengingat banyaknya kasus keracunan MBG yang beredar.
Pertanyaan tersebut langsung ia jawab dengan penjelasan yang panjang dan detail. Ia mencoba menerangkan alasan teknis mengapa memasak tidak bisa dimulai lebih larut.
“Yang dimasak untuk 3500 porsi kan ratusan kg mba, ga akan cukup waktunya kalau baru masak jam 2. Makanya program perlu ada evaluasi besar-besaran, penerima manfaat untuk satu dapur itu terlalu banyak sehingga proses pendistribusian ga maksimal, makanan diterima dalam keadaan dingin sudah >2 jam dimasak, akhirnya bakteri mudah masuk, terlebih tidak ada pemanas di mobil pengantaran, sehingga memungkinkan terjadinya keracunan,” tuturnya.
Kisah pahit ini membuka mata banyak pihak tentang realita di balik program tersebut. Semangat yang awalnya begitu besar justru terhenti di tengah tekanan berat, menyisakan cerita getir seorang ahli gizi yang akhirnya milih mundur…

(sumber: Brilio)







Komentar