Di republik ini, panggilan ke pengadilan kadang datang lebih lambat dari api. Selasa pagi, 4 November 2025, rumah seorang hakim Tipikor di Medan, Khamozaro Waruwu, terbakar hebat. Api melahap habis dinding dan atap di Kompleks Taman Harapan Indah, Medan Selayang. Tak ada korban jiwa, tapi rumah rata dengan tanah. Kebetulan, atau mungkin terlalu pas untuk disebut kebetulan, kebakaran itu terjadi sehari setelah sang hakim meminta jaksa menghadirkan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, sebagai saksi di sidang korupsi proyek jalan.
Hakim Khamozaro dikenal tegas. Dalam sidang yang ia pimpin, ia meminta transparansi: siapa pun yang diduga tahu aliran uang, harus bicara di depan hukum, tak peduli jabatannya. “Kami minta jaksa menghadirkan Gubernur Sumut,” katanya di ruang sidang Pengadilan Tipikor Medan, sehari sebelum bara itu menyala. Permintaan sederhana di atas kertas hukum, tapi rupanya terlalu berat untuk atmosfer politik yang sarat sensitivitas.
Dan begitulah: sebelum panggilan sidang benar-benar dikirim, yang datang lebih dulu adalah kobaran. Api membakar rumah, bukan argumen. Abu menggantikan kesaksian.
Polisi, tentu, meminta publik tak berspekulasi. Mantan penyidik KPK Yudi Purnomo mengingatkan, “Kita tunggu hasil penyelidikan.” Tapi publik di republik yang sudah terlalu sering melihat kebetulan berulang tahu: setiap kali orang berani memanggil nama besar, selalu saja ada ‘tanda’ yang datang tanpa jadwal resmi.
Bobby sendiri tenang menjawab pertanyaan wartawan. Ia bilang siap hadir bila dipanggil. Tapi keadilan di negeri ini seperti menunggu janji yang tak kunjung ditepati dan dalam penantian itu, yang lebih dulu datang selalu sesuatu yang lain: ancaman, intimidasi, atau dalam kasus ini, api.
Rumah hakim memang bisa dibangun lagi. Tapi bagaimana dengan keyakinan bahwa hukum masih punya ruang untuk berani memanggil penguasa? Api itu tak sekadar membakar kayu, tapi juga harapan bahwa pengadilan adalah tempat paling aman bagi kebenaran.
Di republik ajaib ini, panggilan hukum kadang datang dengan bara. Dan di antara abu yang masih hangat, satu pertanyaan menggema pelan: ketika hakim memanggil Bobby, mengapa yang datang justru api?







Komentar