BISNIS KORUP UANG APBN LEWAT PENEMPATAN Rp 285,6 TRILIUN DI DEPOSITO BANK KOMERSIL
Oleh: Faisal Lohy
Purbaya sebut, ada uang pemerintah dari APBN Rp 286,5 Triliun terparkir di deposito perbankan komersil. Curiganya terlibat permainan bunga untuk peroleh keuntungan deposito yg tidak tau bakal digunakan untuk apa. Bisa jadi untuk dikorup dan dinikmati pejabat kementrian dan badan negara yg menempatkan dana itu.
Jika benar seperti itu, sungguh bangsat jajaran kementrian dan badan negara yg terlibat. Uang negara yg mayoritasnya berasal dari hasil peras keringat rakyat dalam bentuk penarikan pajak, bukannya dikembalikan untuk belanja kesejahteraan rakyat, justru bisniskan untuk kepentingan korupsi dan keuntungan pribadi.
Mereka ga perlu kerja keras. Sengaja Lambatkan penyerapan anggaran untuk belanja pembangunan. Tempatkan dana tersebut di deposito. Lalu tiap tahun nikmati keuntungan bunga, dikorup untuk manfaat pribadi.
Padahal dana itu bisa digunakan untuk buyback obligasi pemerintah dalam rangka menghemat, menurunkan beban APBN dalam menanggung pembayaran bunga utang tahunan.
Dana terparkir di deposito Rp 285,6 triliun, jika dipakai untuk bermain bunga, keuntungan tahunan hanya Rp 12,852 triliun.
Jumlah keuntungan bunga tersebut diperoleh dari: Dana terparkir Rp 286,5 triliun X bunga deposito tahunan rata-rata saat ini 4,5% = 12,852 triliun.
Sementara jika digunakan untuk buyback obligasi pemerintah, bisa menghemat, menurunkan pembayaran bunga utang tahunan yg ditanggung APBN hingga Rp 18,278 triliun.
Jumlah itu diperoleh dari: Dana terparkir Rp 286,5 triliun X yield Obligasi Pemerintah (SUN) 10 tahun sebesar Rp 6,4% per tahun = Rp 18,278 triliun.
Artinya, jika pemerintah menggunakan seluruh dana deposito Rp 285,6 triliun untuk buyback obligasi pemerintah, maka negara bisa menghemat Rp 18,278 triliun dalam bentuk pengurangan pembayaran bunga utang.
Maka, patut didukung langkah Purbaya menelusuri dana terparkir di deposito Rp 285,6 triliun itu. Namun tidak berhenti di pengungkapan sumber dan status dana saja.
Tapi tindak lanjutnya, dana itu bisa digunakan untuk buyback obligasi pemerintah untuk menghemat, menurunkan beban APBN menanggung pembayaran bunga utang hingga Rp 18,278 triliun.
Langkah ini sangat diperlukan. Mengingat di tahun 2026, APBN menanggung pembayaran bunga utang Rp 599,440 triliun + pokok utang = Rp 800 triliun. Sudah di atas 30% dari total belanja negara.
Dampaknya, fiskal space 2026 sangat terbatas. Menghambat peran APBN sebagai prime mover pembangunan nasional. Belanja produktif untuk bangun masa depan ekonomi rakyat jadi tidak maksimal.
Contoh: belanja bunga dan pokok utang capai Rp 800 triliun. Jauh lebih besar dibanding belanja perlindungan Sosial yg hanya 504,7 triliun, belanja subsidi yg hanya Rp 318,9 triliun, belanja ketahanan pangan Rp 164,4 triliun, belanja infrastruktur lewat alokasi PUPR yg hanya Rp 118,5 triliun.
Juga jauh lebih besar dibanding belanja kesehatan yg hanya Rp 224 triliun. Belanja pendidikan Rp 757,8 triliun. Namun dipotong belanja MBG Rp 336 triliun yg 43% diambil dari dana pendidikan, maka alokasi belanja pendidikan hanya tersisah 14% dari total belanja negara. Di bawah kewajiban 20% dari amanat konstitusi UUD 2022 Pasal 31.
Buruknya politik kebijakan fiskal ini, Indonesia didaulat Bank Dunia lewat laporan A World of Debt, sebagai negara yg gagal secara sistemik dalam konteks pengelolaan APBN. Dikarenakan alokasi belanja bunga utang di atas 20%. Jauh lebih besar dari belanja pendidikan, belanja kesehatan, belanja infrastruktur dan belanja perlindungan sosial. (*)







Komentar