Kematian Charlie Kirk dalam sebuah penembakan di Utah Valley University, September 2025, meninggalkan banyak catatan kontroversial. Aktivis konservatif ini memang kerap menghiasi panggung politik Amerika dengan gaya retorika yang tajam, penuh provokasi, dan tak jarang menimbulkan perdebatan sengit. Namun, salah satu sikap yang paling melekat dalam ingatan publik adalah keangkuhannya yang menolak mengakui eksistensi Palestina.
Pernah dalam sebuah seminar, Kirk secara terang-terangan meragukan keberadaan Palestina. Bukan sekadar mempertanyakan status kenegaraan, tetapi kalimat absolutnya “Palestine doesn’t exist” meninggalkan luka bagi jutaan rakyat Palestina. Pernyataan itu seolah menghapus sejarah panjang bangsa yang telah berjuang puluhan tahun mempertahankan identitas dan tanah airnya. Bagi banyak orang, ucapan tersebut bukanlah analisis politik, melainkan bentuk arogansi seorang tokoh Amerika yang merasa berhak menentukan siapa yang pantas disebut bangsa dan siapa yang tidak.
Sejak awal kariernya, Kirk memang dikenal sebagai pendukung setia Israel. Melalui organisasinya, Turning Point USA, ia kerap menggelorakan semangat konservatisme ala kanan Amerika yang selalu berdiri di belakang Tel Aviv. Dalam hampir setiap pidatonya, Kirk menyuarakan bahwa Israel adalah sekutu tak tergantikan, sementara isu Palestina dianggapnya sekadar propaganda. Sikap inilah yang membuatnya dicap pro-Israel garis keras, bahkan anti-Palestina. Tidak ada ruang kompromi, tidak ada empati, hanya narasi sepihak yang menguntungkan Israel.
Keangkuhannya semakin terasa ketika ia menolak fakta bahwa lebih dari 140 negara di dunia telah mengakui Palestina sebagai entitas negara. Bahkan di forum internasional, Palestina memiliki status pengamat di PBB. Semua itu seolah tidak berarti baginya. Kirk lebih memilih menutup mata terhadap realitas, seakan ucapan seorang aktivis konservatif bisa menghapus identitas sebuah bangsa.
Ironisnya, meski dikenal dengan retorika yang keras terhadap Palestina dan dunia Islam, kematiannya tidak ada kaitannya dengan kelompok ekstremis Muslim, seperti yang mungkin diasumsikan sebagian orang. Pelaku penembakan yang mengakhiri hidupnya adalah warga Amerika sendiri, tanpa afiliasi dengan jaringan ekstremisme Islam. Fakta ini membuktikan bahwa kebencian terhadap Kirk bukan hanya datang dari luar, melainkan juga tumbuh di dalam negeri, sebagai reaksi atas sikap politiknya yang membelah opini publik.
Kini, warisan Charlie Kirk masih diperdebatkan. Bagi pengikutnya, ia adalah simbol perjuangan konservatif. Namun bagi banyak orang, ia akan dikenang sebagai sosok yang arogan, yang dengan enteng menafikan keberadaan Palestina. Sejarah akan mengingat bahwa Palestina ada, dengan segala penderitaan dan perjuangannya. Sedangkan pernyataan penuh keangkuhan Kirk hanya akan menjadi catatan kecil, tenggelam oleh suara rakyat Palestina yang terus bertahan.







Komentar