Setelah polemik terkait keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai mereda, kini giliran sang putra yang juga Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, menjadi sorotan.
Isu mengenai keabsahan dokumen pendidikan Gibran kembali mencuat ke ruang publik. Berawal dari gugatan perdata yang diajukan advokat Subhan Palal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hingga Roy Suryo cs yang mendatangi Kementerian Dikdasmen.
Politikus PSI Dian Sandi Utama, yang baru saja menjabat sebagai Direktur Diseminasi Informasi dan Media Sosial DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), angkat bicara menuduh penggugat ijazah Gibran membahayakan Indonesia.

Lewat akun media sosialnya X @DianSandiU, Dian menyebut bahwa isu ini berpotensi membawa dampak serius bagi Indonesia, tidak hanya secara domestik, tetapi juga secara diplomatik di level internasional.
“Penggugat ijazah Pak Jokowi dan Mas Gibran ini sangat berbahaya untuk Indonesia,” ujar Dian pada Minggu (28/9/2025).
Menurut Dian, tudingan terhadap keaslian ijazah Gibran bukan hanya mencoreng nama baik pribadi, tetapi juga merendahkan kredibilitas institusi pendidikan, baik dalam negeri maupun luar negeri.
“Kemarin menghina institusi pendidikan dalam negeri (UGM -red), sekarang menghina institusi pendidikan luar negeri. Bahaya untuk hubungan Indonesia dengan negara-negara yang selama ini sudah terjalin sangat baik,” tegasnya.
Ia mencontohkan Singapura sebagai negara yang menjunjung tinggi integritas sistem pendidikannya.
Gibran diketahui merupakan alumni Orchid Park Secondary School (OPSS), Singapura, dan melanjutkan pendidikan di UTS Insearch, Australia.
“Singapura itu negara kecil, kampus di sana sedikit, tapi mereka bertahan karena integritas. Meragukan ijazah yang mereka keluarkan sama saja menuduh mereka bisa dibeli, itu sangat merusak hubungan bilateral,” ujar Dian.
Dian juga mengingatkan bahwa bukti kelulusan Gibran bukan hanya berbentuk surat, melainkan juga dokumentasi resmi seperti foto wisuda yang terpajang di institusi pendidikan terkait.
“Kalian meragukan ijazah yang mereka keluarkan, kalian ragukan Gibran yang photo wisudanya terpampang di kampus. Apa itu tidak namanya menjelekkan institusi pendidikan mereka?” tambahnya.
Namun, di sisi lain, Roy Suryo, mantan Menpora dan pengamat yang aktif menyuarakan kritik terkait dokumen pendidikan pejabat publik,, tetap menilai bahwa isu ini penting untuk dikaji secara hukum dan administratif.
Roy menyebut bahwa persoalan utama adalah keabsahan syarat pencalonan, merujuk pada Pasal 169 huruf r Undang-Undang Pemilu No 7 Tahun 2017, serta PKPU No 19 Tahun 2023, yang mengatur bahwa calon presiden atau wakil presiden harus menamatkan pendidikan minimal SMA atau yang sederajat.
“Syarat sederajat itu harus ditetapkan melalui mekanisme penyetaraan resmi dari pemerintah, bukan sekadar surat keterangan tanpa kekuatan hukum,” jelas Roy kepada media.
Ia merujuk pada surat penyetaraan bernomor 9149/D.DI/KS/2019 yang diterbitkan Kementerian Pendidikan pada 6 Agustus 2019, yang disebut hanya berdasarkan fotokopi rapor kelas 10 dan 11 dari OPSS, tanpa dokumen resmi pendukung lainnya.
“Ini yang bisa disebut sebagai keajaiban dunia ke-9, menyusul keajaiban dunia ke-8 soal ijazah palsu yang sebelumnya ramai dibahas,” sindir Roy.
Bahkan, menurutnya, ia mendapatkan konfirmasi informal dari pejabat Kementerian Pendidikan bahwa surat keterangan itu lahir dari kebijakan menteri sebelumnya.
Roy menilai hal ini sebagai peluang bagi pejabat saat ini (Menteri Dikdasmen Abdul Mu’ti) untuk membuka secara terang skandal tersebut.
“Bagaimana mungkin surat penyetaraan baru muncul 13 tahun setelah tahun kelulusan yang diklaim, tanpa dokumen valid yang mendukungnya? Pertanyaannya: apa yang sebenarnya terjadi, dan skenario kebohongan apa yang dimainkan?” tandas mantan Menpora ini.







Komentar