Penuturan Sahal Muhammad AR (Penyuluh Agama Islam Aceh Tamiang): Banjir, Azan dan Pertolongan Allah

🔴Penuturan Sahal Muhammad AR (Penyuluh Agama Islam Aceh Tamiang):

Rabu dini hari, 26 November 2025, sekitar pukul 03.00 WIB, badai angin menghantam Aceh Tamiang.

Akibatnya, terjadi pemadaman listrik sesaat dan beberapa pohon tumbang di sejumlah lokasi, termasuk di Tualang Cut, jalan lintas Sumatera.

Badai ini kemudian disusul hujan yang sangat deras, yang telah mengguyur sejak Selasa dan berlanjut hingga siang hari Rabu.

Kondisi ini menyebabkan beberapa kawasan seperti Seruway, Sekerak, dan Bukit Rata mulai terendam, memaksa warganya mengungsi ke rumah-rumah kerabat.

Menjelang malam, setelah Isya, sekitar pukul 21.00, air mulai memasuki Kampung Dalam, daerah tempat tinggal kami.

Padahal, menurut penuturan warga setempat, kampung ini belum pernah terendam air bahkan saat banjir besar sekalipun.

Namun, kami menyaksikan sebuah keanehan: meskipun ketinggian air baru sebatas betis orang dewasa, arusnya sangatlah deras, ini menunjukkan air datang dari luapan sungai dari atas gunung bukan tergenang.

Sekitar pukul 21.47, air akhirnya masuk ke dalam rumah kami. Saya dan keluarga paman segera naik ke lantai 2 untuk menyelamatkan diri.

Kami tidak sempat membawa banyak barang, seperti makanan, pakaian, dan obat-obatan, karena kami memperkirakan air hanya akan naik setinggi lutut atau sepinggang.

Namun, Allah berkehendak lain. Listrik padam dan ketinggian air terus meningkat drastis, mencapai 1,5 meter pada Kamis, 27 November.

Pada pagi hari Kamis itu, melihat kondisi air yang semakin tinggi, kami mencoba turun ke lantai dasar untuk mengambil beberapa makanan yang masih terselamatkan di dapur, serta gas dan kompor agar bisa memasak.

Saat itu, sinyal ponsel masih hilang timbul, dan menjelang siang, sinyal hilang total. Air terus naik dengan gelombang yang semakin besar.

Di depan rumah, kami juga melihat beberapa narapidana yang dilepas berjalan perlahan melewati genangan air setinggi leher orang dewasa, mencari tempat berlindung.

Namun, banyak yang menolak mereka karena statusnya sebagai narapidana, dan beberapa rumah juga sudah sangat sesak di lantai duanya, seperti rumah kami yang berukuran 3×3 meter menampung 7 orang (termasuk 1 balita), dan rumah tetangga kami yang menampung 30 orang.

Meskipun demikian, Alhamdulillah, beberapa toko yang memiliki lantai dua bersedia menerima dan menolong mereka.

Sekitar pukul 10.00 pagi, air dan arus terus bergejolak, menabrak beberapa rumah hingga merobohkannya. Salah satu korbannya adalah Alfamart yang berada tepat di depan rumah kami. Dinding belakangnya jebol, menumpahkan seluruh isinya.

Semua makanan menyebar dan tersangkut di beberapa rumah, memudahkan orang-orang yang sudah tidak sempat menyelamatkan makanannya untuk memungutnya.

Beberapa anak remaja yang berani berenang dan naik di atas atap rumah-rumah warga pun ikut mengambil makanan dan menyalurkannya.

Menjelang Asar, ketinggian air semakin kencang dan mencapai sekitar 3 meter, sehingga tidak ada satu orang pun yang terlihat mencoba berenang atau turun. Semuanya hanya bisa melihat dan menunggu, berharap air segera surut.

Di pagi hari, kami sudah mencoba menghubungi tim SAR, namun mereka tidak dapat menolong, hanya menyarankan untuk evakuasi mandiri dan bertahan di lantai 2. Kami juga menghubungi BPBD, tetapi tidak ada jawaban.

Situasi semakin mencekam karena arus dan airnya semakin kuat dan tinggi. Ditambah lagi, ada dua orang (termasuk 1 anak kecil) yang hanyut terbawa arus.

Orang-orang hanya bisa berteriak histeris dan menangis, tak mampu berbuat apa-apa, berharap puluhan helikopter TNI dan POLRI datang menyelamatkan kami.

Hingga akhirnya malam tiba, situasi pun semakin genting. Hanya tersisa beberapa anak tangga lagi sebelum air mencapai lantai 2. Saat itu, saya langsung mengumandangkan adzan dengan suara yang keras, mencoba melawan kerasnya suara arus.

Saya berharap suara ini didengar, memberikan harapan dan pesan kepada orang-orang bahwa sebagai seorang muslim yang memiliki tauhid, mereka masih punya penolong.

Kami memanjatkan doa kepada-Nya, berserah diri kepada-Nya, bertobat di detik-detik terakhir, dan menyesali dosa yang telah dilakukan agar saat kami semua hanyut pun, kami mati dalam husnul khatimah dan meninggalkan dunia dengan kepala tegak menghadap Allah.

Setelah Isya, situasi semakin menakutkan karena suara arus yang semakin mendekati lantai 2 terdengar seperti ombak di tengah badai lautan.

Kami sudah menyiapkan terpal untuk naik ke atap lantai 2, jika kemungkinan air naik lebih tinggi. Paman dan bibi saya sudah naik, sedangkan kami belum, karena masih ada satu anak tangga lagi sebelum air mencapai lantai 2.

Malam itu adalah malam Jumat, saya teringat bahwa itu adalah hari di mana semua doa diijabah. Saya terus berdoa kepada Allah sepanjang malam tersebut sambil menangis, “Ya Allah, kami semua pendosa, semua membangkang kepada-Mu, namun setidaknya ada orang saleh dan ikhlas beribadah kepada-Mu.

Mohon selamatkanlah kami karena mereka. Ya Allah, di antara kami ada anak kecil, balita, bayi di atas loteng rumah orang, mereka belum berbuat dosa sama sekali kepada-Mu, selamatkanlah kami karena mereka, Ya Allah.

Ya Allah, saya masih punya anak umur 1 bulan, istri orang tua, dan 4 adik, berikanlah saya kesempatan lagi untuk berbuat baik kepada mereka semua, Ya Allah.”

Saya pun shalat 2 rakaat sebagai persembahan ibadah terakhir saya sebelum air menghanyutkan kami semua.

Pada malam itu, semua orang yang ada di atap berteriak “Tolong… tolong…”, berharap ada tim penyelamat yang datang karena mendengar suara ini.

Tidak ada satu pun yang tidur karena situasi sudah seperti ini.

Allah mengijabah doa kami

Hingga akhirnya saya merasa Allah mengijabah doa kami, karena dari semalam sampai subuh, airnya terus bertahan tidak naik lagi, sehingga membuat hati saya agak semakin lega.

Namun, tantangan baru kembali datang. Air masih setinggi sekitar 5 meter, dan arusnya tidak ada yang sanggup menerjang. Makanan dan air minum sudah menipis, beberapa bayi pun sudah kelaparan.

Sehingga, ada beberapa rumah yang langsung menimba air banjir yang lewat dan memasaknya untuk diminum.

Adapun kami memasak air hujan yang sudah tertampung di terpal yang sudah kami bentangkan semalam, sehingga bisa bertahan satu hari lagi.

Orang-orang yang berada di lantai 2 dan di atas rooftop juga mencoba melempar makanan dan tali ke rumah kami untuk kami lemparkan lagi ke rumah dan atap orang lain.

Yang sangat mengejutkan saya adalah, yang mengumpulkan dan melempar makanan serta minuman ke rumah kami tersebut adalah para narapidana yang sebelumnya diizinkan masuk dan menginap bersama penjaga ruko.

Para narapidana yang sebelumnya diusir dan ditolak hampir oleh seluruh rumah warga, pada hari itu justru lebih layak diberikan bintang penghargaan pahlawan daripada pejabat-pejabat hari ini.

Mereka lebih manusiawi, lebih simpati, dan lebih bisa diandalkan daripada tim SAR, aparat, dan pejabat negeri ini.

Singkat cerita, air perlahan surut mulai Jumat hingga Ahad pagi, 30 November 2025. Saat air surut, semua orang langsung turun untuk mencari makanan dan minuman di puing-puing reruntuhan rumah.

Kami saling bertemu, menanyakan nasib dan keadaan sesama, saling menangis haru karena Allah masih memberikan kami kesempatan untuk melihat matahari dan beribadah kepada-Nya.

Dari Ahad sampai Rabu (30 November – 3 Desember), orang-orang mencari makanan, gas, mencuci sisa pakaian yang sudah berlumuran lumpur untuk digunakan lagi, serta membersihkan rumah dari lumpur yang sudah setinggi lutut.

Kami mendengar kabar dari pejalan kaki dari arah Medan ke Banda Aceh dan sebaliknya. Mereka berjalan kaki, berenang di genangan banjir, untuk melanjutkan perjalanan kembali ke kampung dan ke tempat yang aman, serta melihat saudara mereka di Tamiang.

Hingga akhirnya Rabu 3 Desember 2025 saya memutuskan untuk meninggalkan Tamiang, berjalan dan menumpang truk yang lewat, dan tiba di Langsa.

Di sana, kami langsung mendapatkan sinyal dan menghubungi keluarga, yang sudah mencari dan menantikan kabar kami di Tamiang.

Allah memberikan cobaan ini untuk kita renungkan bersama, bahwa harta itu jika bukan kita yang meninggalkannya, maka dialah yang akan meninggalkan kita.

Orang kaya di Tamiang dengan segala hartanya habis Allah ambil dengan bencana. Maka, jangan terlalu tamak dan serakah, rajinlah bersedekah karena itu semua bukan milik kita.

Saat bencana terjadi, segala harta yang kita miliki sudah tidak bernilai lagi. Kita tidak risau lagi saat melihat mobil, motor, rumah, dan segala isinya hancur dan rusak.

Kita malah bersyukur bahwa Allah masih menyisakan kita nyawa. Maka dari itu, janganlah kita jadikan harta sebagai tujuan utama hidup kita di dunia ini.

Saat semua mengharapkan manusia, pemerintah, tim SAR untuk menolong, tidak ada satu pun yang datang kecuali Allah Ta’ala.

Mereka tidak mampu dan tidak bisa melakukan apa pun. Maka, jadikanlah Allah sebagai penjaga dan penolongmu, berharaplah kepada-Nya dalam segala hal.

Saya berharap agar bantuan segera datang dan masuk ke Tamiang. Mereka butuh obat, makanan, air bersih, tempat tinggal, pakaian, dan lainnya.

Dana sudah digalang, maka saya mohon sekali tidak ada permainan dan orang mengambil untung dari kejadian ini.

Saya mohon sekali dengan sangat-sangat agar tidak ada korupsi dari bantuan ini. Jika tidak mau membantu, maka jangan menzalimi. Tolong pemerintah turun tangan dengan cepat. Mereka rakyat kalian.

Ke mana kalian saat datang mengemis di masa Pilkada kepada mereka, dan saat mereka butuh kalian, kalian tiada. Kalau kalian tidak mampu, maka biarkan orang dan negara lain membantu, jangan dihalangi.

Apakah kalian menjadikan angka kematian sebagai syarat penerima bantuan? Umar bin Khattab saja tidak bisa tidur jika ada satu saja rakyatnya kelaparan.

Apakah kalian menunggu dan melihat angka survei jumlah korban agar kalian memutuskan membantu mereka yang sudah ditunggu oleh kematian karena lapar, haus, dan kedinginan?

Saya dengan hati yang paling dalam memohon dengan sebesar-besarnya, bantulah mereka, kerahkan semua daya dan upaya untuk membantu.(*)

*Sumber: AcehTribunnews

Komentar