Muncul pertanyaan besar di tengah publik: mengapa pemerintah terkesan alergi terhadap pemberitaan bencana yang disampaikan apa adanya? Pertanyaan ini bukan lahir dari asumsi kosong, melainkan dari rangkaian peristiwa yang belakangan ramai disorot masyarakat, khususnya terkait kondisi bencana di sejumlah wilayah Sumatra.
Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah warga dan influencer yang selama ini vokal menyuarakan kondisi lapangan justru menghadapi tekanan yang mengkhawatirkan. Mereka tidak hanya diserang secara naratif melalui tuduhan sepihak atau framing negatif, tetapi juga mengalami serangan digital yang menyasar ranah privat. Mulai dari upaya pengambilalihan akun WhatsApp, percobaan peretasan media sosial, hingga penyebaran fitnah yang menyeret keluarga mereka.
Fenomena ini menimbulkan kecurigaan publik: mengapa suara alternatif yang menyampaikan realitas di lapangan justru dibungkam, alih-alih dijadikan masukan? Dalam konteks bencana, informasi yang jujur dan transparan seharusnya menjadi fondasi utama penanganan krisis. Tanpa gambaran kondisi yang utuh, kebijakan yang diambil berpotensi tidak tepat sasaran dan justru memperparah penderitaan korban.
Pemerintah kerap berdalih bahwa pembatasan narasi dilakukan demi mencegah kepanikan atau intervensi asing. Namun argumen ini menjadi paradoks ketika di sisi lain negara masih bergantung pada utang luar negeri dan bantuan internasional. Jika intervensi asing dianggap ancaman, lalu bagaimana logika ketergantungan finansial yang sudah berlangsung lama? Ketidakkonsistenan ini justru memperlemah kepercayaan publik.
Dalam sebuah vodeo pendek juga Rocky Gerung sebagai pakar politik menanggapi fenomena semacam ini
Perlu ditegaskan, menyampaikan fakta bukanlah tindakan makar. Influencer dan warga yang membagikan kondisi nyata di lapangan sejatinya sedang menjalankan fungsi kontrol sosial, mengisi ruang kosong yang sering kali tak terjangkau oleh laporan resmi. Ketika mereka diserang, bukan hanya individu yang terancam, tetapi juga kebebasan berekspresi dan hak publik untuk mengetahui kebenaran.
Jika pemerintah merasa narasi yang beredar keliru, jalan terbaik bukanlah intimidasi atau serangan privat, melainkan membuka data, menghadirkan transparansi, dan berdialog secara terbuka. Negara yang kuat tidak takut pada kritik, apalagi pada fakta. Justru dari keterbukaan itulah legitimasi dan kepercayaan rakyat dapat dipulihkan.
Pada akhirnya, bencana bukan hanya soal alam, tetapi juga soal bagaimana negara memperlakukan warganya di saat paling genting. Transparansi adalah kebutuhan, bukan ancaman.







Komentar