Sejak siang hari, masyarakat Aceh turun ke ruang publik untuk menyampaikan aspirasi mereka secara terbuka. Aksi ini merupakan tuntutan sah agar negara menetapkan bencana yang melanda Aceh sebagai bencana nasional. Tuntutan tersebut lahir dari akumulasi penderitaan warga yang kehilangan rumah, mata pencaharian, serta rasa aman akibat bencana yang dinilai tak kunjung ditangani secara serius oleh negara.
Aksi berlangsung terbuka dan bermartabat sebagai bentuk protes atas lambannya penanganan bencana serta minimnya kehadiran negara di tengah krisis kemanusiaan yang dialami masyarakat Aceh. Warga menyuarakan keresahan mereka dan menegaskan bahwa bencana ini bukan lagi persoalan lokal, melainkan persoalan nasional yang membutuhkan pengakuan serta penanganan menyeluruh.
Video 1
Video 2
Video 3
Video 4
Namun, situasi mulai berubah ketika sebagian warga membawa bendera Bulan Bintang, simbol Aceh yang memiliki sejarah panjang dan makna identitas bagi masyarakat setempat. Kehadiran simbol tersebut diduga memicu kemarahan aparat TNI di lapangan. Aparat kemudian melakukan tindakan represif yang berujung pada pembubaran paksa aksi.
Padahal, penggunaan simbol Aceh bukanlah pelanggaran hukum. Dalam Perjanjian Damai Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani pada tahun 2005, hal ini secara tegas diatur. Pasal 1.1.5 Perjanjian Helsinki menyatakan bahwa Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah, termasuk bendera, lambang, dan himne. Ketentuan ini merupakan bagian dari kesepakatan damai yang mengakhiri konflik panjang di Aceh dan menjadi dasar pengakuan terhadap kekhususan Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Meski demikian, alih-alih membuka ruang dialog atau pendekatan persuasif, aparat justru melakukan intimidasi dan kekerasan fisik terhadap massa aksi. Sejumlah warga dilaporkan mengalami pemukulan dan perlakuan kasar, meskipun mereka tengah menyuarakan tuntutan di tengah kondisi bencana.
Tindakan represif ini menuai kecaman dan memperlihatkan bahwa negara kembali memilih pendekatan kekerasan ketimbang mendengar jeritan korban. Aksi yang seharusnya menjadi ruang demokrasi justru dibalas dengan brutalitas. Tuntutan penetapan bencana nasional diperlakukan seolah ancaman keamanan, bukan sebagai seruan kemanusiaan.
Peristiwa ini sekaligus mengingatkan kembali pada semangat Perjanjian Helsinki yang menjamin penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik masyarakat Aceh, termasuk kebebasan berekspresi dan penggunaan simbol daerah. Kekerasan aparat dalam aksi tersebut mempertegas kemuakan masyarakat terhadap negara yang dinilai absen saat rakyat membutuhkan perlindungan, namun hadir dengan cepat ketika hendak membungkam suara warganya sendiri.







Komentar