Fenomena kembalinya mantan narapidana korupsi ke panggung politik bukan lagi hal mengejutkan di Indonesia. Mereka seolah menemukan jalan pulang ke kekuasaan melalui celah hukum yang longgar dan ingatan publik yang mudah dilupakan.
Beberapa nama besar yang dulu pernah mendekam di balik jeruji besi kini kembali berkiprah, bahkan memimpin partai politik. Anas Urbaningrum misalnya, setelah menjalani hukuman delapan tahun karena kasus Hambalang dan TPPU, kini tampil sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN). Romahurmuziy, mantan Ketua Umum PPP yang tersandung kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama, kini duduk manis sebagai Ketua Majelis Pertimbangan partai yang sama.
Kisah serupa juga datang dari Andi Mallarangeng yang kini menjabat Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, dan M. Nazaruddin yang memimpin Partai Rakyat Indonesia (PRI) setelah divonis 13 tahun penjara. Idrus Marham, eks Menteri Sosial yang sempat tersandung kasus suap PLTU Riau-1, pun kembali ke panggung politik lewat jabatan Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Bahkan Irman Gusman, yang pernah dihukum karena kasus suap impor gula Bulog, kini terpilih kembali sebagai anggota DPD RI dari Sumatra Barat.
Fenomena ini tak lepas dari celah hukum dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, yang masih memberi peluang bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri — selama hukuman mereka di bawah lima tahun, atau selama hakim tidak mencabut hak politiknya secara eksplisit. Celah inilah yang kini dimanfaatkan para eks napi koruptor untuk membangun kembali citra dan kekuasaan politiknya.
Masalahnya bukan hanya pada aturan yang longgar, tetapi juga pada mentalitas publik yang permisif. Sebagian masyarakat tampak tak keberatan memilih figur yang “sudah pernah salah” — seolah korupsi hanyalah kesalahan teknis, bukan kejahatan moral yang merusak sendi bangsa.
Ironinya, di saat banyak rakyat masih berjuang menegakkan integritas dan keadilan, para koruptor justru bisa kembali tersenyum dari podium partai dan panggung kampanye.
Kini, pertanyaannya sederhana tapi menohok: apakah bangsa ini benar-benar ingin melawan korupsi, atau hanya berpura-pura marah ketika tertangkap kamera?







Komentar