Di tengah citra miring anggota DPR yang sering dikaitkan dengan kemewahan dan gaya hidup hedonis, sosok Mashadi hadir sebagai pengecualian.
Anggota DPR RI 1999-2004 dari Partai Keadilan ini tetap memilih hidup sederhana. Ia tidak memiliki mobil mewah, hanya sebuah motor kecil yang kadang dipakainya ke Senayan. Jika tidak, ia lebih sering naik angkutan umum atau taksi. Bahkan, jatah beras untuk anggota DPR pun dibawanya sendiri pulang dengan kendaraan umum.
Penampilannya jauh dari simbol status. Saat sidang, Mashadi hanya mengenakan baju hem sederhana dan sandal, hingga pernah disangka bukan anggota DPR oleh Paspampres. Ia tidak pernah menjadikan jabatan sebagai alasan untuk tampil glamor. Bagi Mashadi, inti hidup adalah kesederhanaan.
Kesederhanaan itu lahir dari perjalanan panjang penuh pahit getir. Ia pernah menjadi tukang sapu di Pasar Senen, tidur di masjid, hidup serabutan untuk bertahan, hingga akhirnya meniti jalan dakwah yang membawanya ke kursi DPR. Namun, ketika sampai di Senayan, justru kekecewaan yang ia rasakan. Bagi Mashadi, DPR sudah tidak lagi legitimate sebagai wakil rakyat, lebih sibuk dengan kepentingan dan utang politik.
Karena itu, ia memilih tidak lagi mengejar kursi pada periode berikutnya. Baginya, lebih baik jujur pada nurani daripada larut dalam arus politik yang kotor.
Kisah Mashadi memberi pelajaran berharga: jabatan sejatinya adalah amanah, bukan tiket untuk memperkaya diri. Tetapi ironisnya, sosok-sosok sederhana dan jujur seperti dirinya kini semakin jarang ditemui. Yang tersisa hanyalah cerita dan kenangan, sementara politik terus berjalan dengan wajah yang makin asing bagi rakyatnya. Dan di situlah letak kesedihan terbesar: bahwa keteladanan perlahan menghilang, berganti ambisi yang tak pernah kenyang.
Kini beliau sudah sakit stroke, tapi kisah hidup beliau menjadi tauladan dan standar bagi kami dalam menjalani kehidupan. Semoga menjadi amal jariyah buat beliau.
(✍️Muhammad Iqbal Sandira)







Komentar