Di tengah duka mendalam akibat banjir besar yang melanda berbagai wilayah di Sumatra, polemik lain justru mencuat ke permukaan. Pemerintah belum menetapkan status bencana nasional. Salah satu alasan yang beredar ke publik adalah kekhawatiran akan intervensi asing jika status tersebut ditetapkan. Alasan ini terdengar serius, tetapi jika ditelaah lebih jauh, justru tampak paradoksal dan kontradiktif dengan praktik kebijakan negara selama ini.
Logikanya sederhana. Jika kekhawatiran utama pemerintah adalah campur tangan asing, maka seharusnya standar yang sama juga diterapkan pada kebijakan lain yang jauh lebih berisiko terhadap kedaulatan negara, seperti utang luar negeri. Faktanya, Indonesia tidak hanya terbuka terhadap pinjaman asing, tetapi juga mengandalkannya sebagai instrumen pembiayaan pembangunan. Utang tersebut datang dengan bunga, syarat, evaluasi, bahkan tekanan kebijakan fiskal dan ekonomi jangka panjang. Bukankah itu bentuk intervensi yang jauh lebih nyata dan mengikat?
Bandingkan dengan bantuan kemanusiaan akibat bencana. Bantuan asing dalam konteks bencana nasional umumnya bersifat hibah, tidak mengikat secara politik, tidak menuntut imbal balik ekonomi, dan sepenuhnya berada di bawah koordinasi pemerintah negara penerima. Fokusnya bukan kebijakan atau sumber daya strategis, melainkan penyelamatan nyawa manusia dan pemulihan korban. Menyamakan bantuan kemanusiaan dengan intervensi politik adalah penyederhanaan yang keliru dan berbahaya.
Sejarah pun membantah kekhawatiran tersebut. Indonesia pernah membuka diri terhadap bantuan internasional dalam skala sangat besar pascatsunami Aceh 2004. Tidak ada kedaulatan yang hilang. Tidak ada pengambilalihan kebijakan negara. Yang terjadi justru percepatan pemulihan, rekonstruksi masif, dan penyelamatan jutaan korban. Pengalaman itu seharusnya menjadi rujukan, bukan trauma yang terus dijadikan alasan penundaan.
Yang lebih problematik, penolakan menetapkan bencana nasional justru menimbulkan dampak nyata bagi korban. Tanpa status tersebut, akses bantuan internasional menjadi lambat, koordinasi lintas sektor tidak maksimal, dan beban terbesar tetap dipikul oleh pemerintah daerah yang kapasitasnya terbatas. Akibatnya, warga terdampak lebih lama hidup di pengungsian, kehilangan mata pencaharian, dan menunggu kepastian pemulihan yang tak kunjung datang.
Di titik ini, publik wajar mempertanyakan apa yang sebenarnya dilindungi negara. Apakah keselamatan warga, atau citra politik bahwa negara masih mampu menangani sendiri. Kedaulatan seharusnya diukur dari kemampuan negara melindungi rakyatnya, bukan dari seberapa keras menutup pintu bantuan saat rakyat sedang menderita.
Kekhawatiran terhadap intervensi asing memang sah dalam konteks geopolitik. Namun menjadikannya alasan untuk menahan respons kemanusiaan justru menunjukkan kekeliruan dalam menentukan prioritas. Negara yang kuat bukan negara yang gengsi menerima bantuan, melainkan negara yang berani mengakui keterbatasan demi menyelamatkan warganya.
Jika utang luar negeri dapat diterima atas nama pembangunan, maka bantuan kemanusiaan seharusnya jauh lebih mudah diterima atas nama kemanusiaan. Menolak yang satu sambil membuka pintu lebar-lebar bagi yang lain bukan sikap berdaulat, melainkan inkonsisten.
Pada akhirnya, bencana bukan soal status administratif, tetapi soal waktu. Setiap hari penundaan adalah tambahan penderitaan bagi korban. Dan dalam situasi seperti ini, sejarah akan mencatat bukan alasan yang diucapkan negara, melainkan keputusan yang diambil atau yang tidak pernah diambil.







Komentar