SKANDAL SEX DONALD TRUMP

SEX, LIES, AND DONALD TRUMP

Oleh Hamid Basyaib

PALING sedikit ada dua paket alasan mengapa Donald Trump tidak pantas untuk terus duduk di kursinya di Ruang Oval Gedung Putih.

Kedua alasan itu sudah jauh bergeser dari sekadar soal perbedaan ideologi atau selera politik. Ia telah menjadi isu integritas moral, beban skandal seksual serius, dan kapasitas psikologis dan intelektual seseorang untuk memegang kekuasaan tertinggi.

Pertama: Bayang-bayang “Jeffrey Epstein Files.”

Sedikitnya ada satu orang, yang menyatakan Trump dan Epstein bersama-sama memperkosa dirinya. Menurut laporan FBI yang baru dirilis, gadis belia itu kemudian mati tak wajar.

Dalam isu yang makin runcing ini Trump menjadi tokoh sentral atau pusat kontroversi. Ia diketahui mengirim uang ratusan atau ribuan kali ke rekening Epstein sejak belasan tahun lalu, tampaknya sebagai imbalan untuk jasa Epstein menyediakan banyak perempuan muda kepada Trump dan kawan-kawan.

Pernah, misalnya, dalam suatu pesta di rumah Trump di California, seorang ibu bernama Sandra Coleman ikut hadir untuk mengawal puterinya yang berusia 14, Tina Davis, yang diperintahkan untuk “berpakaian seksi” oleh pihak pengundang.

Menurut Ny. Coleman, seperti diberitakan panjang-lebar oleh New York Times, meski ia hadir di sana, Trump dan kawan-kawan — para politisi, pengusaha dan selebriti — tidak menunjukkan sikap sungkan sedikit pun. Mereka tak peduli pada keberadaan dirinya, dan bersikap enteng saja dalam menggoda para remaja itu.

Marla Maples, waktu itu masih isteri Trump dan harus bertindak sebagai nyonya rumah, mewanti-wanti Ny. Coleman. “Jaga anakmu, terutama dari suami saya,” katanya. “Lindungi dia!”

Setelah operasinya terbongkar, Jeffrey Epstein — seorang bekas guru matematika SMA yang tiba-tiba masuk ke pergaulan elit sosial-politik karena menjadi kepercayaan Leslie Wexner, pemilik kerajaan bisnis pakaian dalam Victoria’s Secret — ditangkap dan dipenjarakan di New York, pada 2019.

Ia mencoba bunuh-diri, tapi gagal karena ketahuan dan diselamatkan oleh sipir penjara. Sebulan kemudian ia mencoba lagi — dan kali ini berhasil.

Ia belum sempat diadili. Ia seolah diberi kesempatan leluasa untuk bunuh-diri, agar kasusnya tidak disidangkan — dan dengan demikian menyelamatkan reputasi begitu banyak nama besar Amerika, politisi, pengusaha terpandang, mantan presiden, pangeran Inggris, akademisi-akademisi Harvard dan MIT, pengacara terkenal, dll.

Setelah bertahun-tahun menjadi kontroversi, akhirnya Kongres AS menyepakati undang-undang yang memerintahkan Departemen Kehakiman (DOJ) merilis “arsip Epstein”; memublikasikan semua hal yang terkait dengan kasusnya — korespondensi, kuitansi, bukti transfer dana, foto-foto dan video.

Dan Epstein terbukti sebagai dokumenter yang hebat: sedikitnya ada 30.000 foto para pesohor itu bersama gadis-gadis binaannya yang ia simpan dengan rapi — sangat mungkin tanpa diketahui para tamunya itu.

Di titik ini masalah bukan selesai, malah memunculkan kontroversi baru yang semakin tajam dan lebih bermakna politik.

DOJ mulai merilis bertahap arsip itu, tapi hampir semuanya diedit (redacted). Hampir semua perempuan yang muncul ditutupi wajahnya dengan blok hitam (meski suntingan ini dikerjakan dengan buruk, sehingga sangat mudah “dinormalkan” oleh aplikasi digital tertentu). Tapi tokoh-tokoh seperti Presiden Bill Clinton, pemilik Microsoft Bill Gates banyak muncul, dan tanpa pengaburan.

Inilah yang membuat Clinton jengkel, dan mendesak DOJ agar merilis semua arsip tanpa editing dan tanpa pilih-bulu. Clinton menuduh: sikap DOJ dimaksud untuk melindungi seseorang — jelas yang dimaksud adalah Presiden Trump (yang terus memperkaya diri dan keluarganya melalui kontrak-kontrak bisnis raksasa, misalnya dengan Arab Saudi, berkat jabatannya).

Kata Clinton: perbuatan DOJ itu bukan transparansi, tapi insinuasi (sebab hanya orang-orang tertentu yang diekspos dengan gamblang — termasuk Bill Clinton, yang sebentar lagi berusia 80, sama dengan Trump).

Kongres juga berniat menggugat DOJ untuk alasan yang sama. Chuck Schumer, bos fraksi Demokrat, menyatakan DOJ telah melanggar undang-undang. Padahal keputusan Kongres dalam urusan ini sudah jelas, dan mendapat hasil voting yang sangat telak: 427 : 1. Artinya hampir semua anggota partai Trump (Republik) pun ingin DOJ merilis semua arsip tanpa syarat.

Jika Jaksa Agung Pamela Bondi tidak mengubah perilakunya, dan Kongres sungguh-sungguh menyeretnya ke pengadilan, kita akan menyaksikan suatu pertarungan legal sekaligus ujian penting tentang prinsip “check and balance” dalam sistem Amerika, yang sudah berusia seperempat milenium.

Yang jelas, meski Trump belum pernah dipidana dalam perkara ini, relasinya yang terdokumentasi dengan Epstein, termasuk pernyataan publik masa lalu, dan kesaksian para korban yang menyeret lingkaran elite Amerika, telah menciptakan krisis kredibilitas berat bagi Presiden ke-45.

Sedikitnya ada satu orang, misalnya, yang menyatakan Trump dan Epstein bersama-sama memperkosa dirinya. Menurut laporan FBI yang baru dirilis, gadis belia itu kemudian mati tak wajar. Polisi yang menangani kasusnya, menurut FBI, menegaskan bahwa kematian gadis itu bukan karena bunuh-diri.

Tak lama sebelum Epstein mengakhiri hidupnya, ia menulis surat pendek kepada sahabatnya, Larry Nasser, yang telah divonis ratusan tahun penjara sejak 2017, karena meniduri ratusan gadis di bawah umur. Nasser adalah kepala tim dokter kontingen Amerika di Olimpiade.

Surat Epstein kepada Nasser baru saja dirilis oleh FBI. Tidak diketahui apa maksud Epstein menyurati rekan sesama pedofil itu. Tapi dari nadanya terkesan bahwa ia kesal karena ia dan Nasser masuk bui, sedangkan kawan mereka sesama pedofil menjadi presiden.

Seorang presiden bukan hanya wajib tidak bersalah secara hukum, tetapi juga harus bebas dari keraguan etis yang dapat menghancurkan kepercayaan publik dan posisi moral Amerika di mata dunia. Dalam kasus Epstein, masalahnya bukan sekadar “bukti pengadilan”, melainkan beban moral dan simbolik yang terlalu besar untuk diabaikan.

Alasan kedua bagi ketidakpatutan Donald Trump menjabat presiden adalah indikasi kuat kemunduran kognitif (cognitive decline) yang diidapnya.

Psikolog klinis dan profesor emeritus dari Universitas Johns Hopkins, Dr. John Gartner, telah berulang kali mengungkapkan kekhawatiran serius tentang kondisi kognitif Donald Trump.

Gartner—yang sebelumnya dikenal sebagai pengkritik profesional yang cermat dan berhati-hati—menyoroti pola penurunan kemampuan verbal Trump, disorganisasi pikiran, pengulangan frasa yang tidak koheren, serta kesulitan mempertahankan alur logis dalam pidato spontannya.

Ini bukan sekadar gaya bicara eksentrik atau retorika populis, melainkan gejala yang, menurut Gartner, konsisten dengan penurunan fungsi eksekutif kognitif. Baru-baru ini, misalnya, Trump membikin geger kalangan wartawan karena menanggapi pertanyaan wartawati CBS dengan, “Hey, piggy… piggy… !”

Ia juga secara tak langsung menghasut publik (kulit putih) agar membenci komunitas warga Somalia-Amerika yang cukup besar, terutama di Negara Bagian Missouri, sampai gubernurnya mengajukan pernyataan-pernyataan korektif terhadap insinuasi Trump itu untuk menenangkan situasi.

Penyebabnya: Trump sejak lama jengkel terhadap kritik-kritik tajam Ilhan Omar, perempuan anggota Kongres keturunan Somalia, yang disebutnya “kawin dengan kakak kandungnya sendiri.” Trump meminta Omar dan kawan-kawannya “pulang” ke Somalia, sebuah wilayah yang, menurut dia, “bukan negara… cuma tempat orang-orang mondar-mandir dan saling bunuh.”

Trump juga belum lama ini menyatakan bahwa para anggota Kongres dari Partai Demokrat sebaiknya dihukum mati — membuat beberapa anggota Demokrat tampil ke publik, mengungkapkan keberatan yang amat sangat atas insinuasi yang sangat keterlaluan itu. Padahal pernyataan-pernyataan mereka justeru dalam rangka menjalankan kewajiban parlementer.

Dalam konteks jabatan presiden—yang menuntut pengambilan keputusan kompleks, manajemen krisis global, dan kendali emosi—indikasi semacam ini adalah tanda bahaya serius, bukan sekadar catatan kaki.

Siapapun mengerti bahwa kepemimpinan nasional—terutama di negara berkekuatan militer dan ekonomi sebesar Amerika Serikat—menuntut tiga hal minimum: integritas personal, stabilitas psikologis, dan kapasitas intelektual yang utuh.

Donald John Trump, dengan beban skandal Epstein yang mustahil tuntas secara moral, serta tanda-tanda kemunduran kognitif yang makin gamblang, gagal memenuhi standar minimum tersebut.

Mungkin ia masih memiliki cukup banyak pendukung fanatik; mereka yang bersenjatakan mantra “make America great again” (MAGA) ciptaan Trump, yang maknanya terus diperluas ke arah yang tidak selalu positif bagi kepentingan Amerika.

Masalahnya adalah apakah dunia—dan rakyat Amerika sendiri—mampu menanggung risiko kepemimpinan yang terus digerogoti oleh skandal masa lalu dan keterbatasan mental yang kian nyata, pada seorang sepuh yang, misalnya, menyimpan tombol bom nuklir di lacinya. Dalam konteks ini jawabannya semakin jelas: Amerika dan dunia tidak akan sanggup bersabar lebih lama lagi.

Michael Wolff seakan menggenapi keganjilan drama Donald Trump dengan cerita-ceritanya yang dilempar ke publik dalam video-video pendek sejak beberapa bulan belakangan.

Menurut wartawan dan konsultan media itu, yang menulis empat buku tentang Trump sejak awal masa kepresidenannya yang pertama (“Fire and Fury”), ia yang sangat heran pada keganjilan perilaku presiden ke-45 itu pernah bertanya kepada Sam Nunberg, penasihat politik Trump di masa kampanye 2016.

Wolff menduga Trump mulai dihinggapi gejala dementia (sejak presidensi pertama!). Ketika ia bertanya, Nunberg balik bertanya: “Masak Anda nggak tahu (sumber segala keganjilan Trump)?”

Ketika Wolf mengaku ia benar-benar tidak tahu, Nunberg menjawab: “Idiot. Trump itu idiot!” Dan ia, menurut Nunberg, bukan cuma goblok, tapi tidak mau tahu pada banyak hal, tentu termasuk hal-hal penting kenegaraan. Donald Trump hanya menyukai jabatannya, bukan pekerjaannya.

Bukan mustahil idiocy Trump itu, diiringi banjir fakta-fakta negatif tentang kelakukannya yang hari-hari ini terus diungkap oleh banyak sumber kredibel, akhirnya membuatnya masuk penjara.

Ia akan menyusul Ghislaine Maxwell, puteri konglomerat media Robert Maxwell (Inggris), pacar Jeffrey Epstein sekaligus pemasok perempuan-perempuan belia (sex trafficker) untuk Epstein dan lingkaran teman elitnya, yang sudah divonis 20 tahun penjara. ***

Komentar