✍🏻Erizeli Jely Bandaro
Defisit fiskal Indonesia melebar bukan karena belanja sosial yang berlebihan, melainkan karena target penerimaan pajak tidak tercapai. Namun solusi yang diambil bukanlah penyesuaian struktural anggaran, melainkan penarikan utang baru.
Pertanyaan kuncinya, siapa yang membiayai utang itu? Jawabannya semakin jelas. Investor dominan SBN Indonesia sepanjang 2025 bukan asing dan bukan publik, melainkan Bank Indonesia (BI).
SBN adalah Surat Berharga Negara, yaitu instrumen utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia untuk membiayai anggaran negara dan pembangunan.
Dari Januari hingga Desember 2025, BI tercatat membeli sekitar Rp 327 triliun SBN, baik melalui pasar sekunder maupun skema debt switching. Angka ini bukan opini, melainkan data terbuka dari laporan BI dan pemberitaan pasar keuangan.
Dari kacamata teori keuangan publik dan pasar obligasi, kondisi ini memiliki nama yang tegas: fiscal dominance. Dalam kerangka klasik Sargent & Wallace (1981), fiscal dominance terjadi ketika kebijakan moneter dipaksa beradaptasi untuk menopang kebutuhan fiskal negara, bukan sebaliknya. Ini biasanya muncul bukan karena keinginan bank sentral, melainkan karena pemerintah kehilangan akses pada sumber pembiayaan murah yang kredibel di pasar.
Mengapa Ini Terjadi?
Pertama, krisis kepercayaan pasar. Bukan berarti investor sepenuhnya lari, tetapi mereka menuntut premi risiko lebih tinggi. Dalam kondisi seperti ini, negara cenderung mengandalkan buyer of last resort—yakni bank sentralnya sendiri.
Kedua, konteks global yang tidak ramah. Banyak bank sentral dunia sedang berada dalam fase normalisasi kebijakan moneter pasca-pandemi, dengan suku bunga tinggi dan likuiditas global yang ketat.
Literatur internasional menunjukkan bahwa kondisi ini meningkatkan risiko capital outflow dari negara berkembang ke aset safe haven (IMF, Global Financial Stability Report). Nah, Indonesia tidak imun terhadap dinamika ini. Tekanan pada pasar obligasi dan nilai tukar memaksa pemerintah dan BI menambah likuiditas melalui pembelian SBN untuk meredam volatilitas. Secara teknis, ini adalah market stabilization policy. Secara struktural, ini adalah tanda keterbatasan fiskal.
Masalah terbesar bukan pada besarnya uang beredar, tetapi di mana uang itu berputar. Likuiditas bertambah di instrumen keuangan bukan di sektor riil. Kredit melambat, industri padat karya stagnan, sektor kreatif kekurangan pembiayaan produktif. Sementara APBN yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan kehilangan daya dorongnya, karena lebih dari ¼ penerimaan pajak habis untuk belanja bunga, ditambah pembayaran pokok utang jatuh tempo. Sehingga lebih dari separuh penerimaan pajak tersedot untuk utang masa lalu. Dalam literatur fiskal, ini disebut debt overhang—kondisi ketika beban utang menghambat kemampuan negara membiayai pertumbuhan (Krugman, 1988).
Secara implisit, kebijakan hari ini menyamakan kondisi ekonomi sekarang dengan masa Covid-19 di mana defisit ditoleransi, restrukturisasi dipermudah, BI kembali menopang fiskal. Namun ada satu perbedaan krusial. Saat Covid, negara jujur mengakui krisis. Hari ini, kepada publik awam, yang dibangun justru narasi optimisme. Dalam konsep Narrative Economics (Shiller, 2017), narasi bukan sekadar komunikasi, melainkan instrumen kebijakan. Ketika kondisi memburuk dan masa depan suram, negara memilih menanamkan harapan. Karena harapan murah, tidak perlu anggaran, dan efektif menenangkan rakyat kecil. Orang kecil bisa bertahan dengan harapan. Bahkan mati pelan-pelan sambil berharap.
Penutup
Masalahnya, harapan tidak memperbaiki arus kas negara, tidak membuka lapangan kerja, dan tidak membayar bunga utang. Ketika kebijakan darurat dinormalisasi dan publik dijauhkan dari fakta fiskal, maka yang terjadi bukan stabilitas, melainkan penundaan krisis. Fiscal dominance bukan sekadar istilah teknis. Ia adalah sinyal bahwa negara sedang bertahan, bukan membangun. Dan ketika negara hidup dari harapan, bukan dari fondasi fiskal yang sehat, maka krisis berikutnya bukan soal jika, melainkan kapan—dan siapa yang sudah menyiapkan jalan keluar lebih dulu. Yang pasti orang kaya dan elite oligarki sedang bersiap siap exit sebelum krisis datang.
(*)







Komentar