Paradoks Bantuan Pemerintah: Antara Ponpes Al Khoziny dan Bencana Sumatera

๐๐š๐ซ๐š๐๐จ๐ค๐ฌ ๐๐š๐ง๐ญ๐ฎ๐š๐ง ๐๐ž๐ฆ๐ž๐ซ๐ข๐ง๐ญ๐š๐ก

โœ๐ŸปArsyad Syahril

Membaca headline PonPes yang bangunannya rubuh diputuskan dibangun ulang dengan biaya dari APBN sebesar Rp 125 milyar membuat saya teringat akan berita bahwa 52 kabupaten/kota di Nanggroe Atjeh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang sedang terkena banjir dan longsor hanya dijanjikan Rp 4 milyar per Dati II. Bahkan level provinsi (Daii I) cuma dijanjikan bantuan Rp 20 milyar.

Angka-angka ini terlalu jomplang untuk dianggap sebagai sebuah kebetulan saja, jadi asli “sakit hati” ini membacanya.

Bagaimana tidak?

1 titik lokasi (Ponpes) = Rp 125 milyar
1 Kabupaten/Kota = hanya Rp 4 milyar
1 Provinsi = hanya Rp 20 milyar

Padahal skala kerusakannya tidaklah sebanding, dan kebutuhan rehabilitasi pasca bencana itu menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Pun kalau dihitung korban, bangunan PonPes yang rubuh akibat dibangun tak sesuai aturan itu memakan korban 67 jiwaยน, sedangkan banjir bandang di Nanggroe Atjeh, SumUt, dan SumBar sampai hari ini tercatat 990 jiwaยฒ dan hampir 1 juta jiwa terpaksa mengungsi. Dua bencana ini tidak berada pada level urgensi yang sama, tetapi anggaran negara menggambarkan seolah-olah yang lebih kecil justru lebih penting.

Jika kita bedah lebih dalam, Rp 125 milyar di Sidoarjo itu dialokasikan untuk “benda mati” (fisik bangunan), sementara yang di Sumatera dialokasikan untuk menyelamatkan “nyawa manusia yang masih hidup” dan pemulihan ekonomi 3 provinsi yang wilayahnya sangat luas yang skala dampaknya nasional. Mirisnya, skala bantuannya tampak hanya sekelas kecamatan.

Ini bukan sekadar soal angka, tapi soal keberpihakan. Di mana “sense of crisis” Pemerintah ketika hampir 1.000 nyawa melayang di Sumatera? Seharusnya statusnya adalah Bencana Nasional dengan kucuran dana prioritas tertinggi, bukan hanya dilempar sekian milyar. Prioritas anggaran seolah tersedot ke proyek fisik yang jelas urgensinya jauh di bawah penyelamatan nyawa korban banjir yang masih kedinginan dan kelaparanโ€ฆ!

Benar-benar sebuah ironi yang sulit dicerna oleh logika ร qal sehat. Di satu sisi, kita melihat sebuah tindakan impulsif membangun kembali PonPes yang rusak, tapi di sisi lain, kita melihat respons terhadap krisis kemanusiaan yang sangat lambat dan setengah hati. Negara seharusnya menomorsatukan keselamatan publik, bukan sensitivitas politik. Sebab kalau tidak, akan jadi pertanyaan: apakah nyawa 990 rakyat di Sumatera itu kurang berharga dibandingkan dengan nyawa 67 santri?

Mau tak mau pasti berpikir ini pasti terkait dengan kepentingan politikโ€ฆ

Apakah Nanggroe Atjeh dan Sumbar itu dianggap tak penting suaranya dibanding suara dari kantong-kantong Ormas yang lagi kisruh itu kah? Atau apakah APBN memang telah beralih fungsi โ€“ bukan lagi sebagai instrumen untuk kepentingan rakyat, melainkan telah menjadi “uang jajan” untuk merawat basis konstituen tertentu demi kepentingan 2029? Jika ini bukan bias politik, maka apa penjelasan yang lebih masuk ร qal?

Well, pada akhirnya prioritas APBN adalah cermin dari nilai-nilai yang dianut oleh rezim penguasa. Sedangkan dari dua berita terlampir, cerminnya jelas retak berat sehingga yang terlihat bukan lagi wajah Negara, melainkan kepentingan para poliTIKUS rezim yang berkuasa.

(*)

Komentar