Langkah kaki kecil itu menimbulkan suara “plok–plok” di antara genangan lumpur. Seorang siswa SDN 3 Perning, Kecamatan Jatikalen, Kabupaten Nganjuk, berjalan tanpa sandal, menapaki jalan setapak sepanjang nyaris tiga kilometer. Di punggungnya menempel tas sekolah lusuh, sementara kamera ponsel seseorang merekam perjuangannya. Dalam video yang kemudian viral, bocah itu menatap lensa dan menyampaikan kalimat yang terdengar sederhana namun mengguncang nurani:
“Bapak Presiden yang terhormat, Bupati… tolong benerin jalan saya dong, Pak. Masak enggak kasihan sama anak-anak.”
Video itu menjadi potret getir bagaimana pembangunan yang selama ini digembar-gemborkan merata, ternyata masih menyisakan ruang gelap—terutama di wilayah pedalaman yang luput dari sorotan pejabat maupun headline nasional.
Jalan Milik Negara, Beban Jatuh ke Masyarakat
Kepala Desa Pule, Luluk Mahfudhotin Zakaria, mengakui kondisi jalan tersebut. Menurut dia, jalur berlumpur itu membentang dari Dusun Tegal AB hingga sekolah di Desa Perning. Jalan itu bukan sekadar rusak, melainkan tak pernah benar-benar dibangun sejak puluhan tahun lalu. Statusnya milik Perhutani, berada di dalam kawasan hutan produksi.
Jadi, meskipun warga sudah berkali-kali mengajukan permohonan, pemerintah desa tidak dapat menyentuhnya. Anggaran tak bisa turun bila status aset belum dialihkan. Akibatnya, akses sehari-hari ratusan warga, termasuk anak sekolah, bergantung pada jalan tanah yang berubah menjadi lautan lumpur saat musim hujan.
Di wilayah ini, konsep “jalan” tampaknya hanyalah garis samar yang dipaksa dilalui roda motor, kerbau, dan langkah warga yang tak punya pilihan lain.
Langkah Bupati, Rutinitas Lama yang Berulang
Setelah video itu menyebar luas, Bupati Nganjuk Marhaen Djumadi akhirnya turun ke lokasi. Jalan itu dicek, diukur, dan difoto. Pernyataan pun dikeluarkan: pemerintah akan memperbaiki akses tersebut, meski statusnya berada di bawah Perhutani.
Namun janji semacam ini bukan hal baru di banyak daerah. Kunjungan mendadak pejabat setelah video viral sering menjadi siklus yang berulang: jalan rusak diunggah ke media sosial, publik ramai, pejabat datang, janji rehabilitasi meluncur—sebelum kemudian dilupakan perlahan oleh birokrasi yang gemuk.
Di lapangan, warga lebih skeptis ketimbang optimis. “Kami hanya ingin anak-anak bisa sekolah tanpa harus mandi lumpur dulu,” kata seorang ibu yang menangis saat bupati datang. Ia juga bercerita tentang keterbatasan listrik di dusunnya—hanya satu meteran yang dibagi ke 17 keluarga.
Kedatangan pejabat tak mengubah fakta bahwa mereka telah hidup dalam kondisi serba terbatas selama puluhan tahun.
Ketimpangan yang Tak Lagi Bisa Ditinggal
Kisah Tegal AB bukan satu-satunya. Jutaan warga di pedalaman Indonesia—dari Sumatera hingga NTT—mengalami hal yang sama: jalan tanah, listrik minim, air bersih sulit, dan sekolah yang berjarak jauh. Sementara itu, pusat-pusat kota seperti Jakarta, Surabaya, atau IKN (kelak) terus dikejar dengan jargon “modern”, “metropolitan”, dan “superhub”.
Bentrokan antara retorika pembangunan dan kenyataan di lapangan terlihat telanjang di hadapan publik: negara membangun jalan layang bertingkat di kota besar, namun membiarkan anak-anak di hutan menyeberangi lumpur demi sekolah.
Pertanyaannya sederhana: berapa generasi lagi yang harus tumbuh dalam keterpaksaan seperti ini sebelum pembangunan benar-benar menyentuh pinggiran?
Kebutuhan Dasar, Bukan Kemewahan
Akses jalan bukanlah fasilitas mewah. Ia adalah hak dasar mobilitas manusia—penentu apakah seorang anak bisa bersekolah, apakah warga bisa menjual hasil panen, apakah ibu hamil dapat segera mencapai layanan kesehatan.
Ketika hal sesederhana jalan pun gagal dipenuhi, pembangunan tak hanya timpang, tetapi cacat sejak akar. Dan jeritan bocah dalam video itu seharusnya cukup bagi pemerintah untuk menyadari: pusat bukan satu-satunya bagian dari republik ini.
Indonesia tidak hanya Jakarta. Dan warga Tegal AB tidak boleh terus menjadi catatan kaki dari pembangunan yang terlalu lama berkutat di pusat.
Komentar