“Pak JK ka troh teuka u Aceh.”
Artinya sederhana: Pak Jusuf Kalla sudah tiba di Aceh.
Namun bagi rakyat Aceh yang sedang berduka, kabar itu terasa jauh lebih besar dari sekadar informasi kedatangan.
Aceh sedang luka. Banjir bandang dan tanah longsor merenggut rumah, sawah, jalan, bahkan harapan.
Di tengah kepanikan warga, satu nama kembali hadir: JUSUF KALLA.
Bukan lagi sebagai Wakil Presiden, melainkan sebagai Ketua Umum Palang Merah Indonesia (PMI).
Di bandara, JK disambut Sulaiman Abda, sahabat lama yang telah menjadi saudara. Kehangatan itu terasa semakin utuh ketika diketahui bahwa Ahmad Haeqal Asri, putra Sulaiman, kini menjabat Ketua PMI Banda Aceh. Seolah ada estafet kepedulian yang terus berlanjut.
Sambutan ini menegaskan bahwa kedatangan JK ke Aceh bukan semata urusan kelembagaan, melainkan ikatan batin yang panjang.
Prinsip JK tetap sama, sejak dulu hingga kini: PMI tidak menunggu status bencana. Bantuan harus bergerak cepat.
Menunda berarti membuka peluang keputusasaan, bahkan penjarahan. Dalam pandangannya, kemanusiaan tak boleh kalah oleh prosedur.
Selama tiga hari di Aceh, agenda JK padat dan nyata. Ia melantik pengurus PMI Aceh sebagai bagian dari penguatan organisasi, lalu bergerak ke Bener Meriah, Aceh Utara, dan Aceh Timur.
Di tenda-tenda pengungsian, ia menyapa korban banjir bandang dan longsor, meninjau distribusi bantuan, serta mendengar langsung keluhan mereka yang kehilangan rumah, harta, dan masa depan.
PMI tidak hanya datang saat darurat, tapi tetap tinggal hingga pemulihan benar-benar berjalan.
Di bawah kepemimpinan JK, operasi kemanusiaan PMI bergerak cepat dan berani.
Relawan PMI dipastikan standby setahun penuh di Sumatera. Komitmen jangka panjang yang jarang terdengar.
Kapal Kemanusiaan PMI dilepas dari Tanjung Priok, membawa 1.500 ton bantuan: beras, gula, minyak goreng, mie instan, dan kebutuhan pokok lain untuk Aceh.
Meski akses distribusi sulit, JK tak menutupinya. Ia mengakui kendala, namun menegaskan satu hal: bantuan harus sampai, dengan cara apa pun yang mungkin.
Kisah ini tak bisa dilepaskan dari ingatan Aceh tentang tsunami 2004.
Saat itu, JK mengucapkan kalimat yang mengguncang nurani: GAM JUGA MANUSIA.
Di tengah konflik, ia menolak melihat korban sebagai lawan. Semua adalah manusia yang berhak hidup dan ditolong.

Kesaksian Uni Lubis menguatkan memori itu. “Pak JK beristighfar berkali-kali, hampir pingsan melihat ribuan mayat di Lambaro. Saya menangis, Sri Mulyani juga menangis. Semua orang di sana tak kuasa menahan air mata.”
Dalam situasi itu, JK juga dikenal berani memotong birokrasi.
Ia pernah memerintahkan, “Ambil pistol, tembak gembok gudang Bulog!” agar beras segera dibagikan kepada korban.
Bahkan dalam kesederhanaan, ia memborong roti dari Medan untuk Aceh. Karena saat itu, roti adalah harapan yang bisa dimakan hari itu juga.
Maka “Pak JK Datang” bukan sekadar kabar kedatangan. Ia adalah simbol kepemimpinan yang humanis, realistis, dan berani mengambil risiko demi nyawa manusia.
Dari tsunami 2004 hingga banjir bandang 2025, Jusuf Kalla mengajarkan satu hal yang tak lekang oleh waktu:
Dalam bencana, yang paling utama bukan aturan, melainkan kemanusiaan dan solidaritas.
Aceh tahu itu. Dan karena itulah, setiap kali Pak JK datang, Aceh merasa tidak sendirian.
Di usia yang tak lagi muda, Jusuf Kalla memilih tetap hadir, bukan dari balik meja, melainkan di tengah lumpur, tenda pengungsian, dan wajah-wajah lelah para korban.
Semoga Allah Ta’ala menjaga selalu Pak JK.
(Nur Fitriyah As’ad)







Komentar