NU Perlu Belajar ke Muhammadiyah Soal Tata Kelola Modern

Di tengah dinamika zaman yang semakin cepat dan menuntut transparansi, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di dunia dihadapkan pada tantangan besar: menata ulang sistem pengelolaan aset dan keuangan secara modern.

Kita tentu tahu, secara sosial dan spiritual, NU memegang peranan yang tak tertandingi. Dari desa hingga kota, dari pesantren kecil hingga universitas besar, pengaruh NU terasa di seluruh penjuru negeri. Tapi di balik besarnya pengaruh itu, NU masih menghadapi masalah klasik — administrasi yang lemah dan pencatatan aset yang belum tertib.

Sebaliknya, Muhammadiyah yang lahir lebih dulu pada tahun 1912 telah menjadi contoh bagaimana organisasi keagamaan bisa tumbuh menjadi kekuatan ekonomi, sosial, dan pendidikan yang sangat tertata. Semua asetnya — sekolah, rumah sakit, universitas, dan lembaga sosial — tercatat atas nama lembaga, bukan individu. Itulah sebabnya laporan aset Muhammadiyah bisa dihitung, diaudit, dan dipertanggungjawabkan secara terbuka.

Di sisi lain, NU tumbuh dari akar tradisi pesantren yang berbasis keikhlasan dan kepercayaan (trust). Banyak aset berupa tanah wakaf, madrasah, atau pesantren didirikan atas nama kiai, keluarga, atau yayasan lokal. Semua berangkat dari niat baik, tetapi secara administrasi membuat banyak aset tidak tercatat resmi atas nama organisasi. Akibatnya, NU sering kehilangan peluang — baik dalam pendanaan, legalisasi, maupun pengembangan ekonomi umat.

Padahal, NU kini sudah memasuki abad kedua. Sudah saatnya sistem pengelolaan yang dulu berbasis “amanah personal” ditingkatkan menjadi “amanah institusional”. Artinya, keikhlasan tetap dijaga, tapi dibungkus dengan tata kelola modern.

Langkah ke arah itu sebenarnya sudah dimulai. PBNU di bawah kepemimpinan KH. Yahya Cholil Staquf tengah menggalakkan program sertifikasi aset dan digitalisasi data keorganisasian. Bahkan kerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) menargetkan puluhan ribu sertifikat aset NU rampung dalam beberapa tahun ke depan. Ini langkah penting menuju kemandirian yang nyata.

Namun upaya itu akan berhasil hanya jika seluruh warga NU ikut berubah cara pandangnya. Bahwa menjadi religius bukan berarti abai terhadap profesionalitas. Bahwa menjaga amanah tidak cukup dengan niat baik, tapi perlu sistem yang memastikan niat itu lestari lintas generasi.

Belajar dari Muhammadiyah bukan berarti meniru seluruhnya. NU punya karakter dan ruh sendiri — berbasis pesantren, tradisi, dan kearifan lokal. Tapi dalam hal tata kelola, tak ada salahnya menimba inspirasi dari saudara tua dalam Islam itu. Muhammadiyah telah membuktikan bahwa manajemen modern dan nilai Islam bisa berjalan beriringan.

Di era modern ini, umat menaruh harapan besar pada NU bukan hanya sebagai penjaga tradisi, tapi juga pelopor kemajuan. Untuk itu, NU butuh disiplin administrasi, manajemen aset yang profesional, dan transparansi publik yang kuat.

Seperti pepatah lama: amanah tanpa tata kelola adalah seperti perahu tanpa kemudi — tetap bisa mengapung, tapi tak tahu ke mana arah berlayar.

Komentar