Muslim Pantang Jadi SETAN BISU

๐Œ๐ฎ๐ฌ๐ฅ๐ข๐ฆ ๐๐š๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐‰๐š๐๐ข ๐’๐ž๐ญ๐š๐ง ๐๐ข๐ฌ๐ฎ

Oleh: Arsyad Syahrial

Lagi-lagi si Pudel membuat narasi opini yang sesat dan menyesatkan sebab mengandung kerancuan แนกubhฤt yang sangat fatal menyamaratakan antara “terhadap kebijakan publik” dengan “celaan terhadap pribadi”, sekaligus juga talbฤซs untuk membungkam amar ma’ruh nahyi munkar dengan dalih “akhlak” yang disalahpahami.

Mari kita bahasโ€ฆ

๐Ÿ”ด Strawman Fallacy

Si Pudel membangun premis palsu bahwa setiap orang yang mengkritik penguasa adalah orang yang “hobby menjatuhkan kehormatan”. Ini adalah kecacatan logika yang parah.

Ada perbedaan mendasar antara “menghina fisik / pribadi” (yang dilarang) dengan “mengoreksi kezoliman / kebijakan” (yang justru diwajibkan!). Mengkritik kebijakan penguasa yang menyengsarakan rakyat atau bertentangan dengan แนกarฤซร h bukanlah “hobby menjatuhkan kehormatan”, melainkan bentuk kepedulian terhadap agama dan nasib kaum Muslimฤซn.

Sederhana saja, jika seorang sopir bus ugal-ugalan dan membahayakan nyawa, maka apakah penumpang yang berteriak mengingatkan sopir itu layak disebut “hobby menghina sopir” sedangkan penumpang yang diam membiarkan adalah penumpang yang baik?

๐Ÿ”ด Dalil larangan menjadi “Setan Bisu”

Islam tak mengajarkan ummatnya untuk menjadi “Setan Bisu” yang diam melihat kemungkaran, sekalipun pelakunya adalah penguasa.

Ada kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar sebagaimana perintah Allลh ๏ทป:

ูƒูู†ุชูู…ู’ ุฎูŽูŠู’ุฑูŽ ุฃูู…ูŽู‘ุฉู ุฃูุฎู’ุฑูุฌูŽุชู’ ู„ูู„ู†ูŽู‘ุงุณู ุชูŽุฃู’ู…ูุฑููˆู†ูŽ ุจููฑู„ู’ู…ูŽุนู’ุฑููˆูู ูˆูŽุชูŽู†ู’ู‡ูŽูˆู’ู†ูŽ ุนูŽู†ู ูฑู„ู’ู…ูู†ูƒูŽุฑู ูˆูŽุชูุคู’ู…ูู†ููˆู†ูŽ ุจููฑู„ู„ูŽู‘ู€ู‡ู

โ€œKamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maโ€™ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan berฤซmฤn kepada Allลh.โ€ [QS ฤ€li รŒmrลn (3) ayat 110].

Baginda Nabi ๏ทบ bersabda:

ู…ูŽู†ู’ ุฑูŽุฃูŽู‰ ู…ูู†ู’ูƒูู…ู’ ู…ูู†ู’ูƒูŽุฑู‹ุง ููŽู„ู’ูŠูุบูŽูŠูู‘ุฑู’ู‡ู ุจููŠูŽุฏูู‡ู ุŒ ููŽุฅูู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุณู’ุชูŽุทูุนู’ ููŽุจูู„ูุณูŽุงู†ูู‡ู ุŒ ููŽุฅูู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุณู’ุชูŽุทูุนู’ ููŽุจูู‚ูŽู„ู’ุจูู‡ู ุŒ ูˆูŽุฐูŽู„ููƒูŽ ุฃูŽุถู’ุนูŽูู ูฑู„ู’ุฅููŠู…ูŽุงู†ู

โ€œSiapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tak mampu, maka dengan lisannya. Jika ia tak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.โ€ [HR Muslim no 49].

Sehingga jika penguasa melakukan kesalahan yang berdampak pada publik, maka koreksi lisan adalah perintah Syari’ah, BUKAN ghibah apalagi penghinaan.

Bahkan kritik kepada penguasa yang lalim disebutkan oleh Baginda Nabi ๏ทบ adalah sebaik-baik jihad, hingga orang yang berdiri di hadapan penguasa lalim lalu memerintahkannya berbuat ma’ruf dan melarangnya dari kemungkaran lalu ia dibunuh karenanya disebutkan oleh Baginda Nabi ๏ทบ sebagai pemimpin para syuhada.

[lihat: HR al-แธคฤkim, alโ€‘Mustadrok no 4884; Ibnu แธคibbฤn, alโ€‘Majrลซแธฅฤซn I/186 ~ dinyatakan แธฅasan oleh Muแธฅammad Nฤแนฃiruddฤซn al-Albฤniyy, แนขoแธฅฤซแธฅ alโ€‘Jฤmi` no 3675].

Para Sahabat Nabi dan Ulama terdahulu tak pernah “baper” ketika dikritik, dan tak pernah menganggap kritik sebagai upaya menjatuhkan kehormatan.

Ketika Khalifah Pertama, Abu Bakr aแนฃ-แนขiddฤซq ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู€ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุนู†ู‡ diangkat menjadi khalifah, Beliau berpidato:

ุฃู…ุง ุจุนุฏ ุฃูŠู‡ุง ุงู„ู†ุงุณ ูุฅู†ูŠ ู‚ุฏ ูˆู„ูŠุช ุนู„ูŠูƒู… ูˆู„ุณุช ุจุฎูŠุฑูƒู… ุŒ ูุฅู† ุฃุญุณู†ุช ูุฃุนูŠู†ูˆู†ูŠ ุŒ ูˆุฅู† ุฃุณุฃุช ูู‚ูˆู…ูˆู†ูŠ

โ€œAmmฤ baโ€™du, wahai sekalian manusia, sungguh aku telah diangkat untuk memimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, maka tolonglah aku. Jika aku berbuat buruk (salah), maka luruskanlah aku!โ€

Beliau menggunakan kata “qowwimunฤซ” (luruskanlah aku), sebuah perintah tegas kepada rakyatnya untuk tak diam jika melihat Beliau salah.

Ketika Khalifah Umar ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู€ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุนู†ู‡ membatasi mahar perempuan lalu ia dikritik oleh seorang perempuan dengan menukil dalil al-Qur-an, Khaifah Umar tak menangkap perempuan itu atas tuduhan “pencemaran nama baik penguasa”, tapi Beliau justru berkata:

ุฃุตุงุจุช ุงู…ุฑุฃุฉ ูˆุฃุฎุทุฃ ุนู…ุฑ

โ€œPerempuan ini benar dan Umar salah!โ€

Ketika Imam Aแธฅmad ibn Hanbal ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู€ู‡ ุชุนุงู„ู‰ (dalam kasus miแธฅnah) diminta untuk diam atau berpura-pura setuju dengan penguasa yang lalim demi “menjaga kehormatan”, maka Beliau berkata:

ุฅุฐุง ุฃุฌุงุจ ุงู„ุนุงู„ู… ุชู‚ูŠุฉ ูˆุงู„ุฌุงู‡ู„ ูŠุฌู‡ู„ ุŒ ูู…ุชู‰ ูŠุชุจูŠู† ุงู„ุญู‚ ุŸ

โ€œJika seorang Ulama menjawab (menyimpang) karena taqiyyah (berdusta karena takut), sementara orang bodoh itu tidak tahu, maka kapan kebenaran akan tampak?โ€

๐Ÿ”ด Logical fallacy “Ngomong-ngomong, kapan berubah, apa nunggu kematian datang?”

Maka jawaban kita, kaum Muslimฤซn, adalah:

Kami MENOLAK untuk menjadi Setan Bisu karena kami takut kematian datang pada saat kami sedang mendiamkan kemungkaran. Kami takut menghadap Allลh dalam keadaan membiarkan agama-Nya dipermainkan dan ummat dizolimi hanya karena alasan “menjaga perasaan” penguasa yang lalim.

Junjungan kami, Baginda Nabiyy ๏ทบ, berpesan:

โ€ฆ ูˆูŽู‚ูู„ู ูฑู„ู’ุญูŽู‚ูŽู‘ ูˆูŽู„ูŽูˆู’ ูƒูŽุงู†ูŽ ู…ูุฑู‹ู‘ุง โ€ฆ

โ€œโ€ฆ dan katakanlah kebenaran, meskipun itu pahit โ€ฆโ€ [HR Aแธฅmad no. 21415, Ibnu Hibbฤn no 361].

Beliau ๏ทบ juga berpesan bahwa “kepahitan” mengatakan kebenaran itu takkan mendekatkan seseorang dengan kematian ataupun menjauhkannya dari rezeki:

ุฃูŽู„ูŽุง ู„ูŽุง ูŠูŽู…ู’ู†ูŽุนูŽู†ูŽู‘ ุฃูŽุญูŽุฏูŽูƒูู…ู’ ุฑูŽู‡ู’ุจูŽุฉู ูฑู„ู†ูŽู‘ุงุณู ุฃูŽู†ู’ ูŠูŽู‚ููˆู„ูŽ ุจูุญูŽู‚ูู‘ ุฅูุฐูŽุง ุฑูŽุขู‡ู ุฃูŽูˆู’ ุดูŽู‡ูุฏูŽู‡ู ุŒ ููŽุฅูู†ูŽู‘ู‡ู ู„ูŽุง ูŠูู‚ูŽุฑูู‘ุจู ู…ูู†ู’ ุฃูŽุฌูŽู„ู ุŒ ูˆูŽู„ูŽุง ูŠูุจูŽุงุนูุฏู ู…ูู†ู’ ุฑูุฒู’ู‚ู ุŒ ุฃูŽู†ู’ ูŠูŽู‚ููˆู„ูŽ ุจูุญูŽู‚ูู‘ ุฃูŽูˆู’ ูŠูุฐูŽูƒูู‘ุฑูŽ ุจูุนูŽุธููŠู…ู

โ€œJanganlah rasa takut kepada manusia menghalangi seseorang dari mengatakan kebenaran jika ia melihat atau menyaksikannya. Karena sungguh mengatakan kebenaran atau mengingatkan perkara yang agung takkan mendekatkan kematian (ajal) dan takkan menjauhkan rezeki.โ€ [HR Aแธฅmad no 11474; Ibnu Kaแนซir, Tafsฤซr al-Qur-ฤn al-ร€แบ“ฤซm (penjelasan surah al-Mฤ-idah ayat 54)].

Demikian, semoga dapat dipahami.

Komentar