Mualem, gue sebut dia orang yang udah kategori langka di zaman penuh penjilat

✍🏻Balqis Humaira

Muzakir Manaf (Mualem)
Gue ulangi pelan-pelan biar nancep: orang ini langka.
Bukan langka karena suci.
Tapi karena dia masih punya tulang punggung di zaman pejabat lebih suka merangkak daripada berdiri.
Dan versi ini, kita nggak pakai sarung tangan.
Kita pakai tangan kosong.
Kalau perih, ya memang harus perih.

Di negeri ini, Lo tau apa penyakit paling ganas di kalangan penguasa daerah?
Bukan korupsi. Itu cuma gejala.
Penyakit intinya satu: ketergantungan mental pada pusat.
Pejabat hari ini hidupnya kayak anjing pameran.
Dikasih makan, disuruh duduk, duduk.
Disuruh diam, diam.
Sesekali dikasih tepuk kepala, langsung merasa penting.
Dan di tengah kandang besar itu, berdirilah satu sosok yang nggak pernah jinak sepenuhnya: Muzakir Manaf.
Masalahnya, orang kayak gini nggak pernah nyaman buat sistem.
Karena sistem itu hidup dari kepatuhan, bukan keberanian.

Dia Bukan Produk Sistem, Dia Produk Kekacauan
Mayoritas pejabat hari ini lahir dari sistem yang rapi.
Sekolah bagus.
Organisasi mapan.
Jejak karier bersih di CV.
Mualem bukan itu.
Dia lahir dari dunia di mana aturan cuma satu: bertahan atau mati.
Di hutan, Lo nggak bisa menjilat siapa pun.
Karena nggak ada atasan yang bisa disogok pakai kata-kata.
Yang ada cuma anak buah yang nunggu keputusan Lo.
Salah sedikit, mereka mati.
Dan darah itu nempel seumur hidup.
Makanya sampai hari ini, dia nggak pernah bisa jadi pejabat yang halus dan manis.
Karena hidupnya terlalu lama di dunia yang jujur secara brutal.

Pejabat Lain Jual Wajah, Dia Jual Badan
Mari kita bicara realita paling menjijikkan dari politik hari ini.
Bencana datang.
Rakyat tenggelam.
Pejabat datang bawa rombongan kamera.
Ambil gambar.
Upload.
Pulang.
Itu ritual.
Dan di situ, Mualem selalu jadi anomali.
Dia datang bukan buat feed.
Dia datang buat ngecek apakah negara masih ada di sana.
Sepatu basah.
Celana kotor.
Wajah kusam.
Dan ini penting:
orang kayak dia nggak pernah takut kelihatan jelek di depan kamera, karena harga dirinya nggak dititipkan ke framing media.
Bandingin sama pejabat yang panik kalau rambutnya kena angin.

Bendera Putih dan Mental Bocah Kekuasaan
Waktu warga ngibarin bendera putih, banyak pejabat bakal tersinggung.
Karena mental mereka mental bocah: dikritik dikit langsung ngambek.
Mualem nggak.
Dia nggak baca itu sebagai serangan.
Dia baca itu sebagai teriakan orang putus asa.
Dan ini perbedaan fundamental antara pemimpin dan pegawai kekuasaan.
Pegawai kekuasaan sibuk jaga citra.
Pemimpin sibuk jaga nyawa.

Tambang Ilegal: Saat Dia Milih Dibenci daripada Berkhianat
Sekarang kita masuk ke bagian paling sadis.
Tambang ilegal.
Di sini banyak pejabat main aman.
Karena tambang itu duit.
Tambang itu suara.
Tambang itu backing.
Mualem justru datang dengan palu.
Alat berat keluar.
Waktu dikasih.
Ancaman jelas.
Dan dia tau betul konsekuensinya:
dia akan dimaki rakyat sendiri.
Dia akan dituduh anti wong cilik.
Dia akan diserang dari dalam.
Tapi dia tetap jalan.
Kenapa?
Karena buat dia, tanah itu bukan komoditas, tapi kehormatan.
Pejabat hari ini gampang banget jual tanah.
Jual laut.
Jual udara.
Karena mereka nggak punya memori.
Nggak punya ikatan.
Nggak pernah berdarah di situ.
Mualem punya.
Makanya dia lebih takut pada hutan rusak daripada karier rusak.

JKA: Ketika Anggaran Kalah oleh Harga Diri Rakyat
Orang pusat suka ngomel soal angka.
Efisiensi.
Rasionalisasi.
Optimalisasi.
Kata-kata steril.
Mualem bawa bahasa lain: utang sejarah.
JKA buat dia bukan layanan kesehatan.
Itu pengakuan.
Pengakuan bahwa negara pernah absen.
Pengakuan bahwa rakyat Aceh bayar mahal buat damai.
Makanya waktu pusat nyenggol JKA, dia ngamuk.
Bukan karena dia nggak ngerti angka.
Tapi karena dia ngerti makna.
Pejabat lain mungkin bilang,
“Ini kebijakan nasional.”
Mualem bilang,
“Ini soal martabat.”
Dan di politik Indonesia, orang yang masih bicara martabat itu berbahaya.

Dana Abadi Kombatan: Ketakutan yang Nggak Mau Diakui Negara
Mari kita jujur.
Negara sering munafik soal perdamaian.
Semua mau damai, tapi nggak mau bayar ongkosnya.
Mantan kombatan disuruh jadi warga biasa.
Tanpa modal.
Tanpa pekerjaan.
Tanpa terapi trauma.
Kalau mereka frustrasi, negara pura-pura kaget.
Mualem nggak pura-pura.
Dia tau, orang-orang itu punya sejarah kekerasan dan solidaritas tinggi.
Kalau dibiarkan, mereka bukan cuma miskin—mereka berbahaya.
Dana abadi itu bukan hadiah.
Itu asuransi perdamaian.
Dan pejabat pusat benci konsep itu, karena mereka maunya damai murah.
Masalahnya, damai murah selalu berumur pendek.

KPA dan Sistem yang Dibenci tapi Dipakai Semua Orang
Banyak elit kota suka sok bersih:
“KPA itu bayangan.”
“Negara di dalam negara.”
Pertanyaan gue simpel:
kalau KPA dibubarkan hari ini, siapa yang turun ke desa?
Polisi?
Birokrasi?
LSM?
Jangan ketawa.
Di banyak tempat, negara formal datangnya lambat, mahal, dan dingin.
Sementara konflik warga butuh diselesaikan sekarang.
Mualem tau sistem ini kotor.
Tapi dia juga tau, membongkar tanpa pengganti itu bunuh diri sosial.
Dan pejabat yang hidup di Jakarta, yang nggak pernah lihat desa konflik dari dekat, nggak punya hak moral buat sok suci soal ini.

Relasi dengan Pusat: Dia Nggak Tunduk, Tapi Nggak Bodoh
Ada dua tipe orang melawan pusat.
Yang pertama: sok heroik, teriak-teriak, lalu dipatahkan.
Yang kedua: diam total, jadi peliharaan.
Mualem tipe ketiga: keras tapi kalkulatif.
Dia ribut soal dana.
Dia ribut soal wilayah.
Dia ribut soal kebijakan.
Tapi dia jaga jalur.
Dia jaga komunikasi.
Karena dia tau, perlawanan tanpa strategi itu bunuh diri, bukan keberanian.

Kenapa Ini Sadis?
Karena kebenarannya menyakitkan.
Di negeri ini, orang kayak Mualem bukan teladan sistem, tapi anomali yang bikin sistem gerah.
Dia ngingetin kita bahwa:
pejabat bisa berisik tanpa jadi pengkhianat,
melawan pusat bukan berarti makar,
dan keberanian itu bukan dosa administratif.
Dia bukan malaikat.
Dia bukan solusi final.
Sistemnya penuh noda.
Tapi di antara pejabat yang hidup dari posisi aman,
dia hidup dari tanggung jawab yang kotor dan berat.
Dan itu bikin dia berbahaya.
Bukan buat rakyat.
Tapi buat sistem yang dibangun dari kepengecutan massal.

Ada Alasan Kenapa Banyak Orang Pusat Nggak Pernah Benar-Benar Suka Dia
Ini fakta yang jarang diomongin terang-terangan:
Muzakir Manaf itu bukan tipe yang bisa “diatur halus”.
Lo mau rayu pakai jabatan?
Dia udah pernah pegang kekuasaan jauh sebelum negara mengakuinya.
Lo mau tekan pakai ancaman politik?
Dia udah hidup puluhan tahun di bawah ancaman senjata.
Lo mau bikin dia takut kehilangan kursi?
Kursi itu cuma alat. Bukan sumber identitas.
Dan di politik Indonesia, orang yang identitasnya nggak tergantung kursi itu selalu dianggap masalah.
Karena sistem ini bekerja bukan dengan logika benar–salah, tapi aman–nggak aman.

Dia Nggak Pernah Jadi “Anak Baik” di Mata Elite Nasional
Perhatiin pola ini.
Ada kepala daerah yang tiap minggu nongol di Jakarta.
Foto sama menteri.
Selfie sama stafsus.
Upload dengan caption: “koordinasi.”
Koordinasi apanya?
Rakyatnya masih miskin.
Jalannya masih rusak.
Tapi dia terlihat “dekat pusat”.
Mualem jarang main begitu.
Kalau dia datang ke Jakarta, biasanya bukan buat foto.
Tapi buat ribut angka, ribut kewenangan, ribut hak Aceh.
Dan ini yang bikin dia sering dianggap “keras kepala”.
Padahal terjemahan aslinya sederhana:
dia nggak mau Aceh diperlakukan kayak anak kecil yang disuruh nerima apa aja.
Di negara yang terbiasa dengan kepala daerah manut, orang kayak gini mengganggu ritme kekuasaan.

Ada Perbedaan Antara “Berani” dan “Nekat” — Dia Paham Itu
Banyak orang salah kaprah soal perlawanan.
Ada yang teriak-teriak di media, tapi pas ditekan, langsung mingkem.
Ada yang sok vokal, tapi ujung-ujungnya minta jatah.
Mualem beda.
Dia nggak berisik setiap waktu, tapi kalau dia bicara, itu di titik yang strategis.
Dia tau kapan harus maju.
Dia tau kapan harus nahan.
Karena hidup di medan perang ngajarin satu hal:
salah timing = mati.
Makanya dia bisa bertahan lama.
Bukan karena licik.
Tapi karena nggak gegabah.

Tentang Elite Aceh Sendiri: Dia Nggak Selalu Disukai, Tapi Ditakuti
Ini juga jarang dibahas.
Jangan kira semua elite Aceh cinta mati sama Mualem.
Banyak yang sebenarnya kesal.
Karena dia:
susah ditekan,
nggak gampang disuapi,
dan nggak selalu nurut mekanisme elite salonan.
Tapi ada satu hal yang bikin mereka tetap jaga jarak:
dia punya legitimasi akar rumput yang real.
Bukan legitimasi survei.
Bukan legitimasi baliho.
Tapi legitimasi dari sejarah.
Dan legitimasi jenis ini nggak bisa dibeli, nggak bisa dipalsukan.

Dia Nggak Populer di Kalangan “Demokrat Ideal”, Tapi Nyata di Lapangan
Kalau Lo tanya aktivis Jakarta, banyak yang bakal bilang:
“Mualem itu feodal.”
“Patronase.”
“Militeristik.”
Semua label itu bisa aja benar di kertas.
Tapi ada satu pertanyaan yang jarang mereka jawab jujur:
di Aceh pasca-konflik, siapa yang beneran bisa jaga stabilitas?
Demokrasi prosedural itu indah.
Tapi di wilayah bekas perang, yang dibutuhkan pertama kali itu rasa aman, bukan seminar.
Dan Mualem paham betul:
kalau keamanan runtuh, demokrasi jadi omong kosong.
Makanya dia lebih milih sistem yang kasar tapi berfungsi, daripada sistem cantik yang cuma hidup di laporan.

Soal Moral: Dia Punya Standar Sendiri, dan Itu Konsisten
Ini poin penting yang bikin banyak orang salah baca.
Mualem bukan relativis moral.
Dia punya standar. Dan itu keras.
Contoh:
Hutan rusak = salah, titik.
Rakyat terlantar = dosa pemimpin.
Mantan pasukan ditinggal = pengkhianatan.
Standarnya bukan hukum administrasi, tapi hukum kehormatan.
Dan orang yang hidup pakai hukum kehormatan itu biasanya nggak fleksibel, tapi bisa ditebak.
Lo tau batasnya di mana.
Lo tau dia bakal marah di titik apa.
Bandingin sama pejabat yang kelihatannya fleksibel, tapi sebenarnya nggak punya garis merah sama sekali.

Dia Mengerti Satu Hal yang Negara Sering Lupa
Negara sering berpikir:
selama nggak ada tembakan, berarti damai.
Mualem tau, damai itu bukan sekadar senyap.
Damai itu perut kenyang, harga diri utuh, dan rasa dihargai.
Makanya dia keras soal:
kesehatan,
santunan korban,
dana kombatan,
dan simbol-simbol penghormatan sejarah.
Karena buat dia, menghapus memori konflik bukan cara menyembuhkan luka.

Banyak Orang Takut Kalau Tipe Kayak Dia Jadi Preseden
Ini mungkin bagian paling sensitif.
Kalau model kepemimpinan kayak Mualem dianggap sah,
itu berarti kepala daerah lain bisa meniru: berani ribut, berani nolak, berani menuntut.
Dan itu bahaya buat sistem yang hidup dari ketertiban semu.
Lebih enak punya kepala daerah:
manut,
nurut,
dan kalau rakyatnya marah, tinggal bilang: “itu kebijakan pusat.”
Mualem nggak bisa dipakai sebagai tameng.
Karena dia kalau salah, dia hadapi sendiri.
Kalau konflik, dia berdiri di depan.
Dan sistem benci orang yang nggak mau dijadikan perisai.

Dia Bukan Simbol Masa Depan, Tapi Penjaga Masa Transisi
Gue jujur.
Mualem bukan model pemimpin masa depan Indonesia.
Terlalu kasar.
Terlalu emosional.
Terlalu berat di sejarah.
Tapi dia sangat relevan sebagai penjaga masa transisi.
Selama luka konflik belum sembuh,
selama janji negara belum lunas,
selama rakyat Aceh masih hidup di antara trauma dan harapan,
tipe pemimpin kayak dia masih dibutuhkan.
Bukan untuk disalin.
Tapi untuk menjaga agar negara nggak lupa utangnya.

Dan Inilah Kenapa Dia Terlihat “Berbahaya”
Bukan karena dia mau memecah negara.
Bukan karena dia anti pusat.
Tapi karena dia ngingetin bahwa kekuasaan seharusnya punya nyali.
Di sistem yang makin hari makin dipenuhi orang penakut,
satu orang berani itu sudah cukup bikin gaduh.
Dan mungkin itu alasan kenapa sampai hari ini,
Muzakir Manaf masih berdiri—
sementara banyak pejabat lain cuma lewat, lalu hilang tanpa bekas.

Sumber: fb

Komentar