Dalam peringatan Hari Pahlawan 2025, Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) berencana menggelar diskusi publik bertajuk “Soeharto Bukan Pahlawan: Tantang Fadli Zon, 1000 Dosa Politik Soeharto” di kampus Universitas 17 Agustus 1945 (UTA’45) Jakarta. Namun, diskusi itu tidak pernah kesampaian.
Salah satu mahasiswa, Damar Setyaji Pamungkas, yang juga Ketua Eksekutif Wilayah LMID Jakarta Raya, justru diskorsing oleh pihak kampus. Kronologinya bermula pada 10 November 2025, ketika Damar dipanggil lisan oleh Dekan Fakultas Ekonomi, Bisnis, dan Ilmu Sosial (FEBIS) usai menempuh Ujian Tengah Semester (UTS). Pemanggilan itu disebut tanpa surat resmi dan didorong langsung dari Rektorat.
Pihak dekan menyatakan keberatan dengan alasan diskusi itu dianggap mengandung “politik praktis”, bukan kegiatan akademik. Damar membantahnya dengan menegaskan bahwa diskusi publik adalah bagian dari kebebasan akademik yang dilindungi oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), UUD 1945 Pasal 28E, dan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Tak hanya gagal di meja diskusi, kampus secara sistematis menggagalkan acara dengan menggembok lokasi kantin yang akan digunakan, mendatangkan aparat kepolisian dan tentara (Babinsa), serta memasang spanduk ancaman yang melarang kegiatan “politik praktis” dengan sanksi skorsing atau drop out (DO).
Pada hari yang sama, sekitar pukul 15.30 WIB, Damar kembali dipanggil tanpa surat resmi. Kali ini, ia langsung dijatuhi sanksi skorsing melalui Surat Keputusan No.693/FEBIS.UTA45/SS/XI/2025, berdasarkan rekomendasi Kaprodi Manajemen. Keputusan itu dinilai melanggar prosedur akademik yang berlaku di UTA’45 Jakarta.
Sebagai bentuk itikad baik, Damar mengajukan surat audiensi kepada Rektor UTA’45 pada 12 November 2025 untuk meminta klarifikasi. Namun, permohonan itu tidak direspons dengan alasan rektor sedang berada di luar negeri.
Kasus skorsing Damar Setyaji Pamungkas ini bukan hanya persoalan individu, melainkan alarm atas kian ringkihnya kebebasan akademik di Indonesia. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang berpikir bebas, justru membungkus kritik dengan dalih politik praktis.
Ketika diskusi dicegah, mahasiswa dikriminalisasi, dan suara dibungkam, yang hilang bukan hanya hak belajar, tetapi juga masa depan demokrasi di ruang pendidikan.







Komentar