LOGIKA YANG MENYESATKAN! PERNYATAAN HASAN NASBI SOAL “NGOPI SAMABIL MAKAN GORENGAN BISA RUGIKAN HUTAN” DISEMPROT PENGAMAT

Pernyataan Hasan Nasbi (pendukung Jokowi, Komisaris Pertamina) yang mengaitkan kebiasaan sehari-hari masyarakat seperti minum kopi, mengonsumsi gorengan berbahan sawit, hingga penggunaan ponsel dengan penebangan hutan dan aktivitas tambang menuai kritik dari kalangan akademisi.

Dosen Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Luthfi Hasanal Bolqiah, menilai pandangan tersebut mengandung kekeliruan logika yang justru berpotensi mengaburkan akar persoalan kerusakan lingkungan.

Menurut Luthfi, meskipun argumen Hasan Nasbi terdengar masuk akal di permukaan, cara pandang tersebut tidak tepat jika dijadikan dasar untuk membaca persoalan lingkungan yang kompleks.

Dalam tayangan video yang beredar luas di media sosial, Hasan Nasbi menyampaikan bahwa kehidupan modern tidak dapat dilepaskan dari eksploitasi sumber daya alam.

Ia menilai kritik terhadap deforestasi kerap tidak konsisten, sebab berbagai kebutuhan masyarakat, mulai dari kopi, kelapa sawit, hingga logam untuk ponsel, berasal dari pembukaan lahan dan aktivitas pertambangan.

Hasan menekankan bahwa isu lingkungan dan bencana harus dilihat secara menyeluruh dari hulu hingga hilir, tidak semata-mata menyalahkan industri.

Menanggapi hal itu, Luthfi menyebut argumen tersebut sebagai:

(1) false dichotomy atau dikotomi palsu, karena seolah membatasi pilihan hanya pada dua kutub ekstrem, yakni melindungi hutan secara total atau membiarkan eksploitasi besar-besaran.

Padahal, menurutnya, terdapat banyak pendekatan lain yang lebih berimbang, seperti zonasi wilayah, tebang pilih, hingga pengembangan agroforestry yang lebih berkelanjutan.

Ia menegaskan bahwa persoalan lingkungan tidak sesederhana hitam dan putih.

(2) Selain itu, Luthfi juga mengkritik adanya false equivalence dalam pernyataan Hasan Nasbi, yaitu penyetaraan yang keliru antara konsumsi individu sehari-hari dengan ekspansi industri skala besar.

Ia mempertanyakan logika yang menyamakan kebiasaan masyarakat dengan dampak lingkungan masif akibat pertambangan dan deforestasi.

Menurutnya, perdebatan utama seharusnya diarahkan pada siapa yang paling diuntungkan dari ekspansi industri dan siapa yang justru menanggung dampaknya, seperti banjir, longsor, dan gagal panen.

Luthfi menilai, argumen semacam itu berisiko mengalihkan fokus dari tanggung jawab struktural, tata kelola industri, dan peran korporasi, menjadi sekadar persoalan moral individu.

Ia menegaskan bahwa dalam sistem demokrasi, masyarakat tetap berhak mengkritik kebijakan pengelolaan sumber daya alam, meskipun belum sepenuhnya menjalani gaya hidup ramah lingkungan.

Menurutnya, solusi nyata atas krisis lingkungan hanya dapat lahir dari pembenahan kebijakan dan praktik industri yang berkelanjutan, bukan dengan membebankan kesalahan pada kebiasaan sehari-hari masyarakat.

Komentar