Tahun 2019, AS menetapkan sangsi ekonomi terhadap Suriah (rezim Assad) yang dikenal dengan ‘Caesar Act’, sanksi yang benar-benar mencekik pemerintah dan rakyat Suriah saat itu. Sanksi ekonomi tersebut intinya tidak hanya menargetkan Suriah, tetapi juga menargetkan siapapun yang berinteraksi dan bertransaksi dengan Suriah.
Sanksi ekonomi adalah alternatif perang baru yang digunakan oleh negara-negara besar untuk memukul lawannya tanpa harus menurunkan pasukan, tetapi untuk membuat rakyat di negara lawan menderita dan melawan pemerintah yang ingin dijatuhkan. Sanksi ekonomi adalah “lethal weapon” (senjata mematikan) seperti yang dikatakan oleh Presiden AS W. Wilson 100 tahun lalu.
Meskipun tidak selamanya strategi sanksi ekonomi berhasil mencapai tujuan, namun cukup efektif untuk membuat negara lawan kalang kabut. Tidak jarang juga sanksi memberikan dampak ‘terbalik’ seperti yang terjadi pada Iran dan Turki.
Sanksi ekonomi dimulai sejak awal perang dunia pertama ketika terjadi konflik antara blok sekutu dengan blok sentral, meskipun ide alternatif perang bersenjata itu telah dipikirkan sebelumnya oleh Kaisar Napoleon Bonaparte. Saat itu sanksi masih diberlakukan untuk sirkulasi bahan baku utama, seperti bahan baku pembuatan senjata dan produksi lainnya, khususnya mangan yang banyak digunakan di Eropa saat itu.
Dalam kasus Suriah, sanksi ekonomi dengan nama Caesar Act, AS dan sekutunya berharap rakyat Suriah yang berada di wilayah kendali pemerintah yang secara langsung terkena dampak sanksi akan menjerit dan keluar melawan pemerintah. Ternyata hal itu tidak terjadi, karena mereka sudah capek melawan sejak 2011, yang ada hanya penjara semakin penuh. Namun, dampak akumulatif dari sanksi dan perlawanan rakyat akhirnya terwujud pada 8 Desember 2024, pemerintah Assad tumbang, namun sanksi Caesar Act masih bertahan. Pemerintah Suriah yang baru di bawah Presiden Ahmad Al-Sharaa tidak bisa berbuat banyak selama sanksi itu masih berlaku.
Berkat usaha dan upaya berbagai pihak, khususnya diplomasi Suriah yang dipimpin oleh Menlu Asaad Shaibani, akhirnya pada 19 Desember 2025, Presiden Donald Trump menandantangani Undang-Undang Anggaran Departemen Pertahanan AS tahun 2026 yang mencakup ketentuan untuk sepenuhnya mencabut sanksi Caesar Act yang dikenakan kepada Suriah sejak 2019.
Menariknya, dalam pidato Presiden Ahmad al-Sharaa kemarin dalam rangka dicabutnya sanksi ekonomi tersebut, beliau secara khusus mengucapkan terima kasih dan menyebut nama beberapa pemimpin: Presiden Trump, Presiden Erdogan (Turki), Emir Tamim (Qatar), dan MBS Putra Mahkota Saudi.
Tidak lumrah seorang negara yang mengucapkan terima kasih kepada kepala negara lain dengan menyebut nama satu persatu, khususnya untuk kasus seperti pencabut sanksi Caesar Act, sementara beberapa kepala negara lain hanya disebut “negara-negara Uni Eropa, negara-negara Arab dan negara-negara Islam…“
Hal ini mengindikasikan apa yang terjadi di Suriah setelah 8 Desember 2024 (tumbangnya Assad) memang kesepakatan empat pihak (Suriah-Turki-Saudi-Qatar) untuk mengintegrasikan kembali Suriah ke arena regional dan internasional, dan menjadikan kembali Suriah sebagai pemain sentral di kawasan, seperti Suriah sebelum 1962, sebelum partai Baath (partainya Assad) berkuasa.
Inilah hasil kesepakatan dari pertemuan puncak trilateral yang diadakan beberapa bulan lalu di Riyadh, dimana presiden Turki berpartisipasi secara daring. Putra Mahkota Arab Saudi yang menanggung biayanya; Presiden AS telah menerima pembayarannya; Emir Qatar menjadi orchestrator di balik arah kebijakan luar negeri Suriah dalam 1 tahun terakhir; dan Presiden Turki adalah orang yang akan melaksanakan rencana tersebut di lapangan. Make Syria Great Again!
(By Saief Alemdar)







Komentar