Selama berbulan-bulan, Israel dan para pendukungnya menuding Hamas merampas bantuan kemanusiaan di Gaza. Tuduhan itu dijadikan alasan untuk membenarkan blokade ketat, pengeboman terhadap toko roti, penghentian konvoi pangan, bahkan penembakan warga yang mengantre makanan. Narasi resminya: perang ini ditujukan kepada Hamas, sementara warga sipil hanya menjadi korban sampingannya.
Namun kenyataannya berbeda. Pemerintah Israel justru diketahui memberi perlindungan dan memasok senjata kepada geng kriminal di Gaza yang kerap merampas bantuan dan menebar teror kepada warga. Salah satu kelompok, dipimpin Yasser Abu Shabab, disebut-sebut terhubung dengan jaringan ekstremis dan melakukan berbagai tindak kriminal. Kelompok ini bahkan diduga mendapat dukungan langsung dari pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Netanyahu sendiri tidak menampik hal itu. Dengan nada enteng ia mengatakan, “Apa salahnya? Itu menyelamatkan nyawa tentara Israel.”
Strategi Pecah Belah
Langkah ini dinilai bukan sekadar taktik lapangan, melainkan strategi terencana. Tujuannya jelas: melemahkan rakyat Palestina, membuat mereka kelaparan, saling curiga, lalu saling menyalahkan. Kekacauan yang tercipta kemudian dijadikan dalih bahwa Palestina tidak mampu mengatur dirinya sendiri.
Cara seperti ini sejatinya bukan hal baru. Dalam sejarah kolonial, menciptakan kekacauan sering dijadikan senjata untuk membenarkan penjajahan. Israel menggunakan pola serupa: menampilkan Gaza bukan sebagai wilayah yang terampas haknya, melainkan sebagai tempat kacau balau yang “butuh dikendalikan”.
Narasi yang Dipelintir
Selama ini media Barat kerap mengulang tuduhan Israel bahwa Hamas mencuri bantuan, meski tanpa bukti. PBB bahkan beberapa kali menegaskan tidak ada data yang mendukung klaim tersebut. Meski demikian, narasi itu tetap berfungsi. Ia membuat blokade dan kelaparan tampak seperti bagian dari “strategi keamanan”, padahal sejatinya bentuk hukuman kolektif.
Kini, setelah terungkap bahwa geng yang merampas bantuan justru dilindungi Israel, seharusnya kebohongan itu runtuh. Tapi dunia internasional nyaris tidak bereaksi. Negara-negara yang biasanya lantang bicara soal distribusi bantuan, seperti Amerika Serikat dan Inggris, kini lebih memilih diam.
Pola Lama yang Terulang
Sejak 1980-an, Israel sudah memainkan politik pecah belah. Mereka mendorong kebangkitan Hamas untuk melemahkan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Tujuannya sederhana: memecah belah persatuan politik Palestina agar perjuangan kemerdekaan tersendat.
Kini pola itu terus berulang. Di Tepi Barat, Israel menahan dana pajak Otoritas Palestina (PA), melindungi milisi pemukim yang menyerang desa-desa, serta melakukan razia harian yang mempermalukan aparat PA. Di sisi lain, warga Palestina di dalam wilayah Israel sendiri dibiarkan hidup dengan infrastruktur terbatas, layanan publik minim, dan angka kriminalitas tinggi. Semua itu bukan kebetulan, melainkan strategi untuk melemahkan identitas Palestina.
Perang Narasi
Apa yang dilakukan Israel tidak hanya perang militer, tapi juga perang narasi. Dengan menciptakan kekacauan, mereka bisa berkata: “Lihat, Palestina tak mampu mengatur diri. Mereka hanya tahu kekerasan. Mereka butuh kami.”
Padahal Gaza dan Tepi Barat bukanlah wilayah gagal. Mereka hanyalah tempat yang secara sistematis dicegah untuk berkembang menjadi negara berdaulat.
Seruan untuk Dunia
Jika pemerintah Israel bisa secara terbuka mengakui mendukung geng kriminal tanpa konsekuensi, maka masalahnya bukan hanya pada Israel, melainkan juga pada dunia internasional yang membiarkan hal itu terjadi.
Rakyat Palestina bukan bangsa gagal, melainkan bangsa yang terus berjuang untuk hidup, memberi makan anak-anak, dan menjaga martabat di tengah tekanan luar biasa.
Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar ancaman simbolis pengakuan negara Palestina, melainkan langkah nyata untuk melindungi nyawa rakyat dan hak mereka membangun masa depan. Jika dunia terus berpaling, bukan hanya Palestina yang hancur, tetapi juga kredibilitas hukum internasional dan nilai kemanusiaan itu sendiri.
Oleh: Ahmed Najar







Komentar