Ironi Negeri: Antara Kesulitan Pangan dan Penghambur-hamburan Pangan
Di sejumlah wilayah Sumatera, korban banjir bandang masih berjibaku dengan keterbatasan pangan. Balita dan anak-anak terpaksa bertahan dengan mi instan berhari-hari, sementara dapur umum dan bantuan logistik belum sepenuhnya menjangkau semua yang membutuhkan.
Namun di sisi lain negeri ini, kita menyaksikan ironi yang sulit diabaikan. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tetap dijalankan bagi siswa, meskipun sekolah sedang libur. Makanan dibagikan dalam bentuk kering, dirapel untuk beberapa hari, seolah-olah program tidak boleh berhenti walau konteks telah berubah. Seolah semata ingin melindungi para pengusaha agar tetap cuan meski liburan!
Keanehan pun muncul: jika anak sekolah libur, mengapa programnya tidak ikut libur?
Alasan-alasan teknis terdengar dipaksakan demi memastikan anggaran terserap dan program tercatat berjalan. Bahkan muncul situasi di mana anak atau orang tua harus datang ke sekolah di masa libur untuk mengambil MBG, meski dikatakan “tidak wajib”.
Ini bukan soal anak-anak yang menerima makanan.
Ini soal ketiadaan kepekaan kebijakan.
Ketika korban bencana masih kesulitan makan hari ini, negara justru terkesan menghambur-hamburkan pangan demi mempertahankan rutinitas program.
Padahal, dalam kondisi darurat, sumber daya negara seharusnya lentur, dialihkan sementara untuk menyelamatkan yang paling membutuhkan.
Ironi ini memperlihatkan satu hal penting: masalah kita bukan kekurangan program, melainkan kekurangan keberanian untuk menyesuaikan kebijakan dengan kenyataan.
Negara yang hadir bukan hanya negara yang disiplin menjalankan program, tetapi negara yang mampu mendahulukan kemanusiaan.
(by Setiya Jogja)







Komentar