Freeport Mencuri Tanah Adat Orang Papua, Bahlil Perpanjang Kontrak

Organisasi lingkungan Greenpeace menyoroti kembali aktivitas tambang PT Freeport Indonesia yang dinilai menimbulkan kerusakan lingkungan dan ketimpangan sosial di Tanah Papua. Selama lebih dari setengah abad beroperasi, Freeport disebut telah mengubah bentang alam Pegunungan Tengah Papua menjadi kawasan industri tambang yang masif, meninggalkan jejak panjang kerusakan ekologis serta meminggirkan masyarakat adat.

Menurut Greenpeace, sejak kontrak karya pertama ditandatangani pada tahun 1967, Freeport telah menambang di wilayah yang merupakan tanah adat suku Amungme dan Kamoro—tanah yang mereka anggap sakral dan menjadi sumber kehidupan. Eksploitasi besar-besaran di Gunung Nemangkawi (Grasberg) tidak hanya mengubah lanskap alam, tetapi juga menghancurkan ekosistem sungai dan pesisir akibat pembuangan limbah tambang atau tailing.

Sebuah video cuplikan yang diproduksi oleh Greenpeace, mengenai apa keresahan anak muda papua dengan hadirnya PT Freeport di tanah mereka

Di tengah sorotan tersebut, pemerintah justru memperpanjang izin operasi Freeport hingga tahun 2061. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan perpanjangan ini dilakukan untuk menjamin kepastian investasi dan mendukung hilirisasi tembaga nasional. Namun keputusan ini menuai kritik keras dari pegiat lingkungan, yang menilai kebijakan itu mengabaikan krisis ekologis dan hak-hak masyarakat adat Papua.

Lebih jauh, data ekonomi menunjukkan bahwa sumbangan Freeport terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebenarnya relatif kecil. Berdasarkan kajian lembaga ekonomi nasional, kontribusi perusahaan tambang tersebut—melalui pajak, royalti, dividen, dan pungutan lain—hanya berada di kisaran kurang dari satu persen per tahun dari total APBN. Secara kumulatif, kontribusi Freeport terhadap penerimaan negara selama tiga dekade terakhir hanya sekitar 1,6 persen, angka yang tergolong kecil jika dibandingkan dengan dampak ekologis dan sosial yang ditimbulkan.

“Keuntungan ekonomi dari tambang sebesar itu tidak sebanding dengan beban lingkungan yang harus ditanggung rakyat Papua,” tulis Greenpeace dalam laporannya.

Greenpeace juga menyerukan agar pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat) untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Papua dari eksploitasi industri ekstraktif. Melalui kampanye bertagar #SelamatkanHutanPapua, #AllEyesOnPapua, dan #SahkanRUUMasyarakatAdat, mereka mengingatkan bahwa tanah Papua bukan sekadar sumber daya alam, melainkan rumah dan identitas bagi masyarakat adat yang telah hidup di sana selama ribuan tahun.

Komentar