Foto editan Ustadz Syafiq Riza Basalamah ‘cukur jenggot’ bisa dikategorikan mengolok-olok Sunah Nabi

✍🏻Adni Kurniawan

Foto editan Ust. Syafiq ini beberapa kali lewat di beranda FB. Saya menangkap bahwa itu jelas lebih dekat kepada ejekan, bukan kritik. Penting untuk disadari bahwa ejekan (meskipun dianggap guyonan) terkait pelaksanaan sunnah merupakan perkara yang sangat berbahaya bagi pelakunya (QS at-Taubah: 65-66).

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Saya percaya, tindakan-tindakan ejekan semacam ini, yang muncul dari suatu kalangan tertentu—apapun itu—justru melemahkan kalangan tersebut, alih-alih menguatkannya. Jadi, kalaupun berbeda, maka berbedalah dengan lebih beradab.

Hukum Memelihara Jenggot

Terdapat perbedaan pendapat dalam madzhab Asy Syafi’i mengenai hukum memelihara jenggot. Ada dari kalangan ulama Asy Syafi’iyyah yang menghukumi wajib, sehingga memangkasnya diharamkan, kecuali jika tumbuhnya melebihi kebiasaan boleh dipangkas dan dari mereka ada yang menyatakan bahwa hukum memelihara jenggot sunnah. Perbedaannya antara Wajib dan Sunnah. Jadi hukum memelihara jenggot minimal Sunnah.

  • Sebagian ulama syafi’iyah yang berpendapat bahwa hukum memelihara jenggot wajib adalah: Ibnu Rif’ah, Al Halimi, Al Qaffal Asy Syasyi, Al Adzra’I, Az Zarkasyi, Ibnu Hajar dalam Al I’ab, Ibnu Ziyad, serta Al Malibari . (lihat, Hasyiyah Asy Syarwani ala At Tuhfah, 9/376).
  • Diantara para ulama syafi’iyah yang menyatakan bahwa mememilhara jenggot adalah sunnah adalah: Imam Ar Rafi’i, Imam An Nawawi, Imam Al Ghazali, Syeikh Al Islam Zakariyah Al Anshari, Khatib Asy Syarbini, Ibnu Hajar dala At Tuhfah, Ar Ramli dalam An Nihayah dan lainnya seperti Al Bujairmi, Abu Bakr Satha Ad Dimyathi serta lainnya. (lihat, Hasyiyah Asy Syarwani ala At Tuhfah, 9/376, Hasyiyah Al Bujarmi ala Al Khatib, 5/ 261, Hasyiyah Bughyatul Mustarsyidin, 1/286, Hasyiyah I’anatuth Thalibin, 2/386)

Sebab perbedaan masalah ini adalah memahami pernyataan dari Imam Asy Syafi’i. Sebagaimana dinashkan oleh Imam Asy Syafi’i, bahwasannya beliau menggunakan lafal “laa yahillu” (tidak dihalalkan) memotong jenggot sebagaimana pendapat Al-Halimi. Bagi yang yang mengharamkan memotong jenggot, manafsiri lafal “laa yahillu” sebagai perkara yang diharamkan. Namun, para ulama lainnya menafsirkan kata “laa yahillu” bukan hal yang haram tetapi dimakruhkan, karena “laa yahillu” bisa bermakan haram bisa bermakna makruh. Dan para ulama yang memilih penafsiran bahwa memotong dan mencabut jenggot makruh (bukan haram), karena penfasiran itu sejalan dengan pendapat yang otoritatif dalam madzhab yaitu makruh. (lihat, Hasyiyah Asy Syarwani ala At Tuhfah, 9/376, Hasyiyah I’anatuth Thalibin, 2/386)

Komentar