Setelah mimin posting soal rokok, muncul komentar yang sangat manusiawi dan sangat sering kita temui.
Kalimatnya menarik. Bukan karena benarnya, tapi karena cara berpikir di baliknya.
Manusia sering membela satu kebiasaan buruk dengan menunjuk kebiasaan buruk lain yang katanya lebih parah?
Ini sangat manusiawi, mekanisme pembenaran diri.
Dalam psikologi, ini dekat dengan konsep cognitive dissonance, ketegangan batin saat seseorang tahu sesuatu itu salah, tapi belum siap melepaskannya. Supaya tidak terlalu sakit di hati, otak mencari pembanding:
Memang saya merokok, tapi lihat tuh… ada yang minum obat seumur hidup, ada gula yang sebenarnya lebih bahaya, nenek gw perokok tapi umurnya panjang. Bla, bla, bla…
Masalahnya, perbandingan ini sejak awal sudah pincang. Rokok dan obat bukan berada di jalur yang sama.
– Rokok adalah paparan toksik.
– Obat adalah intervensi terapeutik.
– Sedangkan gula, mau kamu makan satu drum, gak ngefek buat yang gak makan gula. Lah rokok, kamu yang hisap orang lain kebagian asapnya.
Rokok mengandung lebih dari 7.000 zat kimia, dan ratusan di antaranya toksik, puluhan bersifat karsinogenik, seperti nikotin, tar, karbon monoksida, benzena, formaldehida. Ini bukan pendapat pribadi, tapi konsensus ilmiah global (WHO, CDC). Rokok tidak dirancang untuk menyembuhkan apa pun. Ia hanya memberi sensasi sementara, sambil perlahan merusak paru, pembuluh darah, dan sel.
Sementara obat, iya, betul, memang zat kimia juga. Tapi bedanya sangat mendasar.
obat dikembangkan melalui riset panjang, uji praklinis, uji klinis berlapis, dosis terukur, manfaat dan risikonya dihitung. Tujuannya jelas: mengoreksi fungsi tubuh yang terganggu.
Apakah obat punya efek samping?
Tentu. Sains tidak pernah menjanjikan nol risiko.
Tapi risiko obat diterima karena manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya. Ini prinsip dasar farmakologi.
Merokok tidak punya manfaat medis yang bisa ditimbang seperti itu.
Ia bukan terapi. Ia kebiasaan adiktif.
Lalu soal katanya lebih sehat, ini juga bias persepsi.
Kesehatan bukan cuma soal kelihatan kuat hari ini. Rokok itu penyakit yang sabar. Efeknya akumulatif. Banyak perokok tampak baik-baik saja di usia 30-an, lalu baru membayar tagihannya di usia 50–60 tahun.
Dan di titik itu, rokok sering sudah berhenti memberi sensasi apa pun, yang tersisa hanya obat. Banyak obat.
Jadi ketika seseorang berkata seperti pada komen, sering kali itu bukan argumen logis, tapi cara hati bertahan. Cara halus untuk berkata, apaan luh, duit-duit gw, tolong jangan ganggu kebiasaan gw dulu.
Dan itu manusiawi.
Tapi fakta tidak bisa ikut berbohong.
Rokok tetap rokok.
Obat tetap obat.
Dan membandingkan keduanya untuk membenarkan kebiasaan, tidak akan mengubah fakta biologis di dalam tubuh.
Sekali lagi, edukasi soal rokok memang tidak mudah. Karena yang dilawan bukan cuma nikotin, tapi juga cara pikiran mencari alasan agar tidak berubah.
Pelan-pelan saja.
Fakta bekerja dengan data,
tapi perubahan… dimulai dari keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
(fb Now I Know)







Komentar