Untuk apa mengejar gelar sebagai orang terkaya di Indonesia, jika kekayaan itu diraih dengan cara-cara yang menabrak hukum? Alih-alih mendapat kehormatan, justru risiko penjara yang menanti.
Pernyataan itu seolah menemukan relevansinya dalam kasus dugaan korupsi jual-beli solar Pertamina yang sedang disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (9/10/2025). Pegiat antikorupsi sekaligus Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, mengaku terkejut dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan tersebut.
Dalam sidang yang menghadirkan mantan Direktur Utama Pertamina Patra Niaga (PPN), Riva Siahaan, terungkap adanya 13 perusahaan tambang yang membeli solar nonsubsidi dengan harga jauh di bawah standar, bahkan lebih rendah dari harga pokok penjualan (HPP) Pertamina.
Yang mencengangkan, di antara perusahaan itu terdapat tambang milik dua nama besar di dunia bisnis Indonesia: Boy Thohir dan Franky Widjaja.
“Pantas saja mereka bisa masuk daftar orang terkaya di Indonesia, kalau ternyata menikmati solar nonsubsidi di bawah harga aturan. Itu jelas pelanggaran hukum. Solar yang dibeli dengan cara seperti itu menjadi haram karena merugikan negara,” ujar Uchok di Jakarta, Sabtu (11/10/2025).
Dari data yang terungkap, kerja sama jual-beli solar antara Pertamina dan PT Adaro Indonesia —perusahaan milik konglomerat Garibaldi “Boy” Thohir— menyebabkan kerugian negara hingga Rp168,52 miliar. Adaro Indonesia sendiri merupakan bagian dari Adaro Group, yang selama ini dikenal sebagai salah satu pemain utama di industri batu bara nasional.
Tak berhenti di situ. Perusahaan lain milik Boy Thohir, PT Maritim Barito Perkasa (MBP), yang bergerak di bidang jasa transportasi laut dan sungai untuk pengangkutan batu bara, juga disebut ikut menikmati harga solar super murah. Dari transaksi itu, negara kembali menanggung kerugian sebesar Rp66,5 miliar.
Laju pesat bisnis Adaro Group memang tak terbantahkan. Forbes bahkan menempatkan Boy Thohir di posisi ke-17 daftar 50 orang terkaya Indonesia tahun 2024. Namun, jika benar sebagian keuntungan itu berasal dari praktik yang merugikan negara, kekayaan tersebut tentu meninggalkan tanda tanya besar: apakah semua itu layak disebut keberhasilan?
Sumber: inilah.com







Komentar