Dia beli 2.000 ekskavator, mau bikin Papua Rata???

✍🏻Balqis Humaira

Dia beli 2.000 ekskavator, mau bikin Papua Rata???

Gue tau, kalimat itu kedengarannya lebay. Kayak judul clickbait. Tapi masalahnya, ini bukan metafora. Ini barang fisik. Besi. Mesin. Gigi baja. Dua ribu unit. Bukan dua puluh. Bukan dua ratus. Dua ribu. Dan itu bukan dibeli buat pajangan. Mesin kayak gitu cuma punya satu fungsi: ngeruk, ngeratain, ngilangin sesuatu dari peta.

Gue tau juga, namanya udah lama gak asing buat warga Kalimantan Selatan. Dan ini bukan karena prestasi nasional. Ini karena pengaruh. Pas kebetulan gue di sana, lo tau hal paling aneh apa? Bukan spanduk, bukan baliho. Tapi orang-orangnya. Mereka ngobrol biasa, ketawa, cerita apa aja. Tapi pas nama satu orang ini mau kesebut—suasana berubah. Nada turun. Mata nengok kiri kanan. Suara dikecilin. Kayak lagi nyebut nama hantu, atau lebih tepatnya: nama yang kalau salah sebut bisa bikin hidup ribet.

Dan nama itu: Andi Syamsuddin Arsyad.

Sekarang gue mau ngajak lo mikir pelan-pelan. Jangan pinter dulu. Jangan sok ngerti. Kita pake logika paling dasar yang bisa dipahami orang yang bahkan ogah baca berita politik.
Pertanyaan pertama:
Ngapain orang beli 2.000 ekskavator?
Jawaban jujurnya cuma satu:
Dia gak lagi main-main.
Orang yang mau nanam padi, gak beli segitu.
Orang yang mau uji coba proyek, gak beli segitu.
Orang yang masih mikir, gak beli segitu.
Jumlah itu cuma masuk akal kalau keputusan udah final. Tanah itu udah dianggap milik. Tinggal diratakan. Titik.

Sekarang pertanyaan kedua, ini lebih penting:
Kenapa Papua?
Bukan Jawa.
Bukan Sumatera.
Bukan Kalimantan lagi.
Papua.
Tempat yang jaraknya jauh dari Jakarta.
Tempat yang kalau rusak, orang kota cuma lihat dari berita dua hari.
Tempat yang suaranya sering dianggap gangguan, bukan peringatan.
Papua itu bukan dipilih karena tanahnya paling subur. Jangan kemakan dongeng. Papua dipilih karena paling gampang dibungkam. Itu aja.

Negara ini kalo mau ngelakuin hal kotor, dia selalu cari tempat yang sepi.
Bukan sepi manusia. Sepi perhatian.
Dan Papua itu tempat yang sempurna.
Di sana, satu proyek bisa masuk dengan nama keren:
“ketahanan pangan”,
“kedaulatan energi”,
“tugas negara”.
Padahal isinya: alat berat masuk duluan, omongan belakangan.

Sekarang kita bahas orangnya.
Andi Syamsuddin Arsyad ini bukan tipe pengusaha yang nongol tiap hari di TV debat ekonomi. Dia gak butuh itu. Orang kayak dia mainnya di belakang meja, bukan di depan kamera. Dia gak perlu dikenal semua orang. Cukup dikenal oleh orang yang pegang keputusan.
Dan ini penting:
Dia bukan pejabat. Tapi kebijakannya sering kelihatan kayak disesuaikan sama dia.
Ini bukan tuduhan. Ini pembacaan pola. Lo tinggal lihat:
proyek besar
lahan luas
alat berat masif
pengawalan negara
Selalu ada di sekitar lingkar yang sama.

Gue mau jujur. Di Kalimantan Selatan, banyak orang gak benci dia. Bahkan ada yang hormat. Kenapa? Karena kekuasaan di daerah sering gak hadir lewat negara, tapi lewat satu figur kuat. Dia bisa bantu, bisa nutup jalan, bisa bikin urusan kelar. Dalam kondisi kayak gitu, orang belajar satu hal: jangan cari ribut sama yang lebih kuat dari hukum.
Dan dari situ lo harus paham:
pengaruh dia bukan cuma ekonomi, tapi psikologis.
Kalau satu nama aja bikin orang enggan nyebut di tempat umum, itu bukan karena hormat doang. Itu karena takut.

Sekarang balik ke Papua.
Bayangin lo orang adat. Tanah itu hidup lo. Tempat berburu, nyari makan, nyimpen cerita leluhur. Terus suatu hari, datang alat berat. Bukan satu dua. Tapi ratusan, ribuan. Datang barengan. Cepet. Rapi. Kayak operasi militer.
Dan yang bikin lo gak berani ngomong apa-apa adalah ini:
mereka datang gak sendirian.
Ada aparat.
Ada seragam.
Ada senjata.
Jadi jangan ngomong ke gue soal “persetujuan warga” dengan gaya presentasi kampus. Persetujuan itu ada maknanya kalo orang bebas nolak. Kalo nolak aja bikin deg-degan mikir keluarga, itu bukan persetujuan. Itu penyerahan diri pelan-pelan.

Sekarang lo tanya:
“Emang salah kalo mau bangun negara?”
Gue jawab pelan:
Bangun negara itu beda sama ngeruk negara.
Kalau bener mau bangun, lo uji tanah dulu.
Lo denger warga dulu.
Lo jalan pelan.
Ini kebalik.
Mesin dulu, logika belakangan.
Dan di situ keliatan jelas: tujuan utamanya bukan hasil panen. Tujuannya adalah penguasaan lahan dan apa pun yang bisa diambil dari situ.

Gue mau bahas satu hal yang sering bikin orang awam bingung: kenapa alat berat segitu penting?
Karena di dunia proyek gede, uang tercepat bukan dari panen, tapi dari pembukaan lahan.
Kayu ditebang.
Tanah diratakan.
Volume dihitung.
Semua ada nilainya.
Panen bisa gagal.
Lahan bisa ditinggal.
Tapi yang udah diambil, gak balik.
Ini pola lama. Udah kejadian berkali-kali. Dan anehnya, selalu diulang di tempat yang sama-sama jauh dari pusat kekuasaan.

Sekarang soal pajak dan hukum.
Gue gak akan pake istilah ribet. Intinya gini:
Ada perusahaan gede. Harusnya bayar pajak gede. Tapi malah diputer. Bahkan sempat bikin negara hampir keluar duit ke dia.
Kalau orang kecil kayak lo salah isi formulir pajak, langsung dikejar.
Kalau grup besar main licin, urusannya jadi “rumit”, “proses panjang”, “tunggu keputusan”.
Di titik ini, orang awam harus sadar satu hal pahit:
hukum itu keras ke bawah, lentur ke atas.

Terus kenapa dia aman?
Karena kekuasaan di negara ini gak berdiri satu kaki. Dia berdiri di tiga:
duit
relasi politik
alat paksa negara
Kalau tiga-tiganya ketemu di satu tangan, hasilnya ya kayak sekarang. Kebal.

Gue mau lo bayangin ini:
Seandainya proyek ini gagal. Panen gagal. Lahan rusak. Siapa yang nanggung?
Bukan dia.
Bukan keluarganya.
Yang nanggung:
lingkungan
warga lokal
bank negara
APBN
Sedangkan alat berat udah dibayar. Kayu udah keluar. Nama udah makin kuat.
Ini bukan teori konspirasi. Ini logika bisnis paling telanjang.

Makanya gue bilang dari awal:
2.000 ekskavator itu bukan simbol kemajuan. Itu tanda bahaya.
Itu tanda bahwa satu orang punya kemampuan untuk menggerakkan negara tanpa perlu duduk di kursi kekuasaan.
Dan itu jauh lebih berbahaya daripada pejabat biasa.

Di titik ini, lo mungkin mikir:
“Terus kita bisa apa?”
Minimal, jangan goblok dengan percaya dongeng.
Dongeng bahwa semua ini demi rakyat.
Dongeng bahwa Papua itu tanah kosong.
Dongeng bahwa kritik itu anti-negara.
Kritik itu justru tanda lo masih peduli.
Karena kalo hari ini Papua diratain dan semua orang diam, besok jangan kaget kalo giliran tempat lain. Polanya sama. Cuma lokasinya pindah.

Sekarang Gue ulang dikit dari awal biar nyantol di kepala.
Dia beli 2.000 ekskavator.
Dan abis itu, Tanah Papua disiapin buat diratain.
Ini bukan gaya-gayaan.
Bukan pamer.
Ini tanda kekuasaan.
Karena gini logikanya:
orang biasa beli satu alat berat aja mikir seribu kali.
ini orang beli dua ribu.
Artinya apa?
Dia yakin gak bakal ada yang berani ngehentiin.
Dan di negara ini, orang cuma bisa seyakin itu kalo dia punya pegangan kuat di belakang.

Sekarang kita masuk ke pertanyaan paling penting:
Kenapa dia sekuat itu?
Siapa yang jagain?
Kenapa semua kayak nurut?

Jawabannya gak rumit, tapi panjang.

Pertama: dia bukan sekadar pengusaha, dia pemain lama
Nama Andi Syamsuddin Arsyad itu udah lama banget nongol di Kalimantan Selatan.
Bukan kemarin sore.
Dan yang perlu lo pahami:
orang yang udah lama di satu daerah, duitnya muter di situ, lapangan kerja dari situ, biasanya bukan cuma bos — tapi penguasa tak resmi.
Di banyak daerah, negara itu kalah cepat sama orang kayak gini.
Kalau warga butuh bantuan, yang datang duluan sering justru si bos lokal, bukan negara.
Dari situ pelan-pelan terbentuk satu kondisi:
orang gak berani nyebut nama sembarangan.
bukan karena hormat doang, tapi karena takut salah posisi.
Dan kalo di daerah aja orang udah segan, kebayang dong pas dia naik level nasional.

Kedua: dia gak berdiri sendirian, dia nempel ke kekuasaan
Sekarang kita pake bahasa paling gampang.
Di Indonesia, uang dan kekuasaan itu saling nyari.
Penguasa butuh duit buat jalan.
Orang kaya butuh perlindungan buat bisnisnya.
Ketemu di tengah.
Dan orang ini bukan tipe yang nunggu dipanggil.
Dia datang duluan, pas banyak orang masih ragu-ragu.
Makanya setelah penguasa duduk di kursi,
orang ini udah dianggap “bagian dari dalam”.
Bukan orang luar.
Bukan tamu.
Tapi orang yang “udah tau dapur”.
Itu sebabnya proyek gede bisa jatuh ke tangannya tanpa ribut panjang.

Ketiga: proyeknya dibungkus nama negara
Ini penting banget.
Dia gak datang ke Papua bilang:
“Gue mau bisnis.”
Enggak.
Yang dibawa itu:
ketahanan pangan
kedaulatan energi
proyek negara
tugas nasional
Kalau udah pake baju “negara”,
siapa yang berani nolak?
Orang yang nolak langsung dicap:
penghambat pembangunan
gak nasionalis
bikin ribut
Padahal yang dateng itu alat berat, bukan bantuan hidup.
Dan di sini lo harus paham satu hal pahit:
negara dipake jadi tameng, bukan pengendali.

Keempat: ada aparat, dan itu bikin semua orang mikir dua kali
Gue gak mau muter-muter.
Setiap alat berat masuk Papua, gak sendirian.
Selalu ada aparat.
Buat apa?
Katanya buat pengamanan.
Tapi efek nyatanya satu: orang jadi diam.
Lo bayangin lo warga kampung.
Tanah leluhur lo mau dibongkar.
Terus ada tentara berdiri di situ.
Mereka gak perlu ancam.
Gak perlu bentak.
Cukup hadir.
Dan kehadiran itu udah cukup buat bikin orang mikir:
“Kalau gue nolak, aman gak keluarga gue?”
Itu bukan kekerasan langsung.
Tapi tekanan halus yang kejam.
Dan orang yang bisa bikin aparat hadir segitu rapi, berarti bukan orang sembarangan.

Kelima: duitnya bikin semua orang lentur
Sekarang kita ngomong jujur aja.
Orang yang punya duit segede itu bisa:
bantu kampanye
bantu logistik
bantu “operasional”
bantu ini itu
Dan bantuan kayak gitu gak pernah gratis.
Bukan berarti ada kontrak.
Bukan berarti ada kwitansi.
Tapi di dunia atas, semua orang tau:
yang bantu dari awal, jangan disinggung belakangan.
Makanya kalo ada masalah:
izin bisa dipercepat
aturan bisa dilonggarkan
kritik bisa diredam
Bukan karena aturannya berubah,
tapi karena orangnya gak boleh diganggu.

Keenam: citra baik itu tameng paling ampuh
Ini bagian yang sering bikin orang bingung.
“Ah tapi dia kan dermawan.”
“Dia kan sering bantu.”
“Dia kan umrah-in orang.”
Iya. Semua itu bener.
Dan justru itu yang bikin dia makin kebal.
Karena di masyarakat,
orang baik gak boleh dikritik.
Orang dermawan gak enak diserang.
Padahal kebaikan personal gak bisa nutup kerusakan gede.
Tapi secara psikologis, ini ampuh banget.
Orang jadi mikir dua kali buat buka mulut.

Jadi Kenapa dia sekuat itu?
Karena:
dia pemain lama
dia nempel ke kekuasaan
proyeknya pake nama negara
aparat ada di belakang
duitnya ngalir ke banyak pintu
citranya bersih di mata publik
Semua itu numpuk jadi satu.
Dan kalo semua udah numpuk, hasilnya cuma satu:
Dia bisa ngelakuin hal yang kalo dilakukan orang lain, pasti dihentikan.

Ini bukan soal satu orang jahat.
Ini soal sistem yang ngasih panggung ke orang yang punya kombinasi duit + relasi + keberanian ngeruk.
Dan Papua cuma jadi tempat kejadian perkara.
Dia kuat bukan karena dia paling hebat, tapi karena terlalu banyak orang berkuasa yang butuh dia dan gak mau kehilangan dia.

(fb)

Komentar