Di atas peta dunia, Indonesia tampak seperti kerajaan nikel raksasa

Di atas peta dunia, Indonesia tampak seperti kerajaan nikel raksasa—malu-malu, tapi kaya. Setidaknya itu yang dikatakan pejabat setiap kali kamera televisi menatap mereka: “Kita pengendali nikel dunia. Kita raja baterai masa depan.” Sayangnya, dunia industri tidak pernah bekerja dengan pidato.

Di Pulau Obi, Halmahera, Weda Bay, dan Maluku Utara, suara mesin pabrik HPAL meraung siang malam, sementara sungai berubah warna, tanah retak, dan kampung tenggelam lumpur tailing. Negara bersorak: “Lihat, hilirisasi kita sukses!” Padahal kalau kita buka laporan keuangan global, hasilnya sederhana: Indonesia dapat lumpur. Jepang dapat laba.

Karena begitulah rantai pasok bekerja.
Kita membanggakan smelter yang bahkan manual book-nya ditulis dalam bahasa Mandarin. China bangga membangun pabrik yang dibiayai bank BUMN kita. Ya mereka jual EPC.
Dan Jepang?
Ah, Jepang tidak perlu membangun apa pun. Tidak perlu mikirin ekologi. Jepang hanya duduk tenang sebagai off-taker, technology holder, dan price maker.
Nah Indonesia ? Kebagian memeras tanah, China memeras bijih, Jepang memeras margin.

Kita ini seperti petani yang berteriak menjadi eksportir besar, padahal harga ditentukan supermarket Tokyo dan Frankfurt. Kita hanya melihat asap pabrik. Mereka melihat angka net profit margin. Kita sibuk memamerkan MHP dan NPI. Mereka memonopoli cathode chemistry, battery-grade sulfate, dan R&D rantai pasok EV dunia. Kita percaya menjadi pemain global. Mereka tahu kita hanyalah proxy resource state.

Dan lucunya lagi, setiap kali banjir lumpur tailing merendam perkampungan, pejabat berkata: “Itu dampak kemajuan. Hilirisasi itu perlu pengorbanan.” Pengorbanan siapa? Tentu saja rakyat. Yang menikmati laba siapa? Tentu saja yang bukan rakyat.

Sampai kapan kita bangga dengan peran ini?
Bangga menjadi pemasok bahan mentah dalam drama energi global yang skenarionya ditulis Jepang, modalnya disponsori China, dan panggungnya disewa Indonesia? Sampai kapan kita puas dengan gelar “negara tambang plus pabrik murah”, sambil meyakinkan diri bahwa itu adalah kedaulatan?

Seorang ahli pernah berkata: “Negara maju mengekspor teknologi. Negara berkembang mengekspor tanahnya.” Kita tampaknya mengekspor tanah dan ilusi. Jadi kalau Anda bertanya mengapa nasionalisme ekonomi kita seperti rumah panggung tanpa fondasi, jawabannya sederhana: Karena kita bangga terlalu cepat, dan membaca terlalu lambat. Dan sementara kita merayakan hilirisasi di spanduk dan konferensi pers, Jepang menghitung laba dan tidak pernah berteriak apa-apa. Mereka tidak perlu bicara. Yang perlu bicara hanyalah negara yang masih berusaha terlihat berdaulat.

Jadi ya, ringkasannya begini saja: Indonesia dapat nama . Jepang dapat bahan baku untuk industri dalam negerinya yang bernilai tambah puluhan kali lipat . China dapat produksi supply chain dengan laba. Dan oligarki dapat izin dan fee.

Sisanya?
Rakyat dapat debu nikel dan kerusakan ekologi. Welcome to hilirisasi versi republik tropis: di mana yang bekerja keras adalah bumi, yang kaya adalah korporasi, dan yang bangga adalah pejabat. Dan yang memuja orang tolol!

(Erizeli Jely Bandaro)

Komentar